Senin, 14 November 2016

The nature of Strategy implementation • Resource Allocation • Management conflict • Matching structure • Strategic Business Unit (SBU)


THE NATURE OF STRATEGY IMPLEMENTATION
Strategi implementasi adalah amplifikasi dan pemahaman tentang strategi baru dalam organisasi (Mintzberg, 1994). Penjelasan melibatkan pengembangan struktur baru, proses dan keberpihakan lain organisasi (Galbraith & Kazanjian, 1986).
Beberapa hal penyebab Kegagalan Strategic rencana implementasi
Strategi implementasi lebih penting untuk organisasi dari perumusan strategi karena jika strategi tidak berhasil dilaksanakan oleh staf dan manajemen, biaya dan kerusakan tumbuh lebih dari kegagalan tahap formulasi strategi. Alasan utama kegagalan pelaksanaan strategi adalah sebagai berikut.
1)   Feurer di al (1995) mengidentifikasi kurangnya komunikasi antara pembuat strategi dan staf dan manajemen organisasi. Ini dapat berupa kurangnya komunikasi atau komunikasi yang buruk.
2)    Schaap (2006) di penelitiannya di industri kasino menemukan kegagalan untuk berkomunikasi Visi dan tujuan strategis untuk employees berarti bahwa para pembuat strategi tidak memberikan informasi untuk Semua orang untuk memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dengan itu. Tujuan-tujuan baru diuraikan tetapi tidak dikomunikasikan seluruh organisasi untuk bagaimana tujuan-tujuan baru harus terlihat dan apa langkah-langkah seharusnya yang akan diambil. Komunikasi yang buruk antara anggota tim bertanggung jawab untuk keputusan diimplementasi. Harapan dan pendapat tidak dibagi secara terbuka, secara menyeluruh dan efektif.
3)    Jooste dan Fourie (2009) berpendapat bahwa ada banyak organisasi yang memiliki berbagai strategi tetapi karena kurangnya komitmen dari para pembuat kebijakan dan kurangnya kepemimpinan strategis strategi ini tidak menghasilkan hasil yang bermanfaat. Alasan lain di balik kegagalan strategi adalah kurangnya minat dan efisien kepemimpinan untuk menerapkan.
4)    Mapeter et al (2012) menyatakan bahwa alasan yang menyebabkan kegagalan strategi dan walaupun memiliki strategi terbaik, mereka bisa tidak membuahkan hasil di Zimbabwe itu hanya karena negatif kepemimpinan perilaku yang menunjukkan eksekutif strategi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka adalah kurang berkomitmen pada strategi. Kurangnya kreatif visi strategis dalam organisasi mereka tidak dapat memotivasi dan boot moral staf untuk memperoleh tujuan-tujuan yang ditentukan, komunikasi antara manajemen tingkat menengah dan tingkat tinggi manajemen di organisasi ini tetap sangat rendah.
5)    Schaap (2006) menyatakan bahwa manajemen puncak dan perilaku kepemimpinan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan strategi. Managers tidak memadai pemahaman strategi perusahaan dan prospek masa depan, perhatian yang cukup dan dukungan manajer dan mempengaruhi orang lain di organisasi terhadap pelaksanaan strategi bisnis menghambat keberhasilan pelaksanaan strategi.
RESOURCE ALLOCATION
Dalam ekonomi, alokasi sumber daya adalah penunjukan sumber daya yang tersedia untuk berbagai penggunaan. Dalam konteks seluruh perekonomian, sumber daya dapat dialokasikan dengan berbagai cara, seperti pasar atau perencanaan pusat.
Dalam proyek manajemen, alokasi sumber daya atau manajemen sumber daya adalah penjadwalan dari kegiatan dan sumber daya yang diperlukan oleh kegiatan-kegiatan tersebut sambil mempertimbangkan ketersediaan sumber daya dan waktu proyek.
Alokasi sumberdaya adalah proses menetapkan dan mengelola aset dengan 
cara yang mendukung tujuan strategis organisasi.
Alokasi sumberdaya meliputi mengelola aset berwujud seperti perangkat keras untuk membuat penggunaan terbaik dari lembut aset seperti sumber  daya 
manusia. Alokasi sumberdaya melibatkan menyeimbangkan kebutuhan yang bersaing dan prioritas dan menentukan jalannya paling efektif tindakan  untuk memaksimalkan penggunaan sumberdaya yang terbatas yang efektif 
dan mendapatkan pengembalian investasi terbaik.

MANAGEMENT CONFLICT
Definisi Konflik :
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.

Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)
Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah: suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1.        Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2.      Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1.        Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2.      Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3.      Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4.     Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5.      Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik :
1.        Konflik masih tersembunyi (laten) Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2.      Konflik yang mendahului (antecedent condition) Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3.      Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4.     Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior) Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5.      Penyelesaian atau tekanan konflik Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6.     Akibat penyelesaian konflik Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber Konflik :
1.        Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A.    Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).
Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).
Strategi Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2.Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar

2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.

2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.

3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.

4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.

MATCHING STRUCTURE
Dalam pelaksanaan suatu strategi, setelah merancang struktur keorganisasian dan sistem pengendalian stretegi langkah selanjutnya adalah mencocokkan antara struktur dan sistem pengendalian strategi berdasarkan strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran perusahaan. Struktur keorganisasian yang cocok dengan sistem pengendalian merupakan wujud pelaksanaan strategi pada tingkat pendahuluan.
Hill dan Jones (1998: 438) memaparkan secara singkat mengenai pokok bahasan pelaksanaan strategi, yaitu membawa bersama-sama formulasi strategi dan pelaksanaan strategi dan menguji bagaimana bentuk pengaruh-pengaruh atas strategi yang dipilih suatu perusahaan atas struktur oragniasional dan sistem kendali. Alasan perusahaan seperti pengalaman maslalah IBM dan General Motor dengan struktur organisasi dan sistem kendali mereka sekarang menjadi jelas; mereka telah kehilangan kendali lingkup struktur organisasi mereka, dan ongkos birokrasi mereka yang mengeskalasi. Tantang bagi suatu perusahaan yaitu mengelola struktur organisasinya dan sistem kendalinya juga agar ia dapat mengekonomisasi pada ongkos birokrasi dan meyakinkan bahwa semua itu cocok terhadap antara potensi keuntungan atas strateginya.
Berikut ini adalah butir-butir utama suatu pelaksanaan strategi:
  • Melaksanaakan strategi melalui struktur organisasional dan sistem kendali adalah mahal, dan perusahaan perlu memantau dan melihat secara mendalam dan menyeluruh struktur oragnisasi mereka yang bersifat konstan dalam aturan birokrasi yang ekonomis.
  • Pada tingkat fungsional, tiap fungsi mensyaratkan suatu jenis struktur organisi dan sistem kendali yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuan fungsionalnya.
  • Pada tingkat bisnis, struktur oraganisasi dan sistem kendali seyogyanya didesain untuk mencapai tujuan-tujuan tingkat-bisnis, yang berarti mengelola hubungan antara semua fungsi yang memungkinkan perusahaan membangun suatu kompetensi yang berbeda (distinctive competency).
  • Biaya-kepemimpinan dan strategi-strategi diferensiasi masing-masing mensyaratkan suatu struktur dan sistem kendali yang cocok sebagai sumber atas keunggulan bersaing (advantage competitive). Melaksanakan suatu simulasi biaya-kepemimpinan dan strategi difenesiasi adalah masalah yang wujud pada banyak perusahaan sekarang.
  • Sebagai suatu perusahaan yang bergerak dari suatu strategi multidomestik sampai internasional, global, dan lintasnasional, ia membutuhkan perubahan suatu struktrur organisasi yang sangat kompleks mengikutinya untuk megkoordinasi peningkatan tranfer sumber-sumber yang kompleks. Dengan cara yang sama, ia membutuhkan penyesuaian suatu integrasi dan sistem kendali yang kompleks yang menfasilitasi pengetahuan atau pelajaran global. Kapan mereka berhasil yang diperoleh dari sinergi, sering kali perusahaan mengadopsi suatu struktur organisasi matriks-global (a global-matrix structure) untuk memberikan pengetahuan dan keahlian.
  • Pada tingkat perusahaan, suatu perusahaan seyogyanya memilih struktur organisasi dan sistem kendali yang akan mengikutinya untuk operasi (=tindakan) suatu kumpulan atas bisnis yang efisien.
  • Selama perubahan strategi perusahaan mereka sepanjang waktu, mereka seyogyanya mengubah struktur organisasi mereka sebab strategi yang berbeda yaitu dikelola dengan cara yang berbeda.
  • Profitabilitas atas merjer dan akuisisi bergantung pada struktur oragnisasi dan sistem kendali yang diadopsi perusahaan untuk mengelolanya dan cara suatu perusahaan mengintegrasi (=memadukan) kedalam bisnisnya yang ada.
  • Untuk mendorong (to encourage) usaha baru internal, perusahaan seyogyanya mendesain struktur oragnisasi yang memberikan divisi yang otonom yang dibutuhkannya dalam aturan untuk membangun produk baru dan melindunginya dari campur tangan yang berlibahan oleh para manajer perusahaan.
  • Lebi jauh (increasingly), pertumbuhan atas penggunaan sumber-luar (outsourcing) telah membimbing perusahaan untuk membangun struktur jaringan-kerja. Perusahaan yang sejati (virtual corporation) yaitu menjadikan suatu realitas sebagai sistem informasi komputer (computer information systems) menjadi yang lebih canggih.
STRUKTUR DAN KONTROL PADA TINGKAT FUNGSIONAL
Telah dijelaskan bahwa pada strategi tingkat-fungsional, dijelaskan bagaimana fungsi-fungsi suatu perusahaan dapat membantu perusahaan untuk mencapai superioritas efisiensi, mutu, inovasi, dan tanggapan pelanggan – dikenal sebagai the four building of competititve advantage. Juga telah dijelaskan bagaimana para manajer dapat membantu tiap fungsi untuk membangun suatu kemampuan yang berbeda (a distintive competency). Sekarang akan dijelaskan cara para manajer strtategik dapat menciptakan suatu struktur dan sistem kendali untuk mendorong (to encourge) pengembangan atas beragam kemampuan atau keahlian fungsional yang berbeda.
Keputusan-keputusan pada tingkat fungsional masuk dalam dua kategori: pilihan tentang tingkat diferensiasi vertikal dan pilihan tentang pemantauan dan evaluasi sistem. (Pilihan tentang diferensiasi horizontal adalah tidak relevan karena kita mempertimbangkan setiap fungsi individual). Pilihan bergantung pada kemampuan suatu perusahaanm yang berbeda uang ingin dikejarnya. 
Strategic Business Unit (SBU)
Unit Bisnis Strategis atau Strategic Business Unit (SBU) adalah unit bisnis independen di bawah perusahaan yang bertujuan untuk mengoptimalisasi sumber daya dan memaksimalkan nilai perusahaan. SBU menyediakan produk dan pelayanan kepada pelanggan internal maupun pihak ketiga.
SBU umumnya merupakan suatu unit mandiri dan suatu perusahaan dapat memiliki beberapa SBU. Sebagai contoh, Garuda Indonesia memiliki empat SBU yang bertanggung jawab langsung kepada Dewan Direktur.
Ciri-Ciri Strategic Business Unit (SBU)
Strategic Business Unit (SBU) pertama kali diperkenalkan tahun 1979 oleh Mc. Kensey and Co. dalam kerjasamanya dengan General Electric. SBU didefinisikan sebagai suatu cara mengelola sebuah bisnis sehingga tiap unit menjual sekumpulan produk/jasa kepada sekumpulan pelanggan dalam persaingan dengan sekumpulan pesaing. 
Ciri-ciri SBU terdiri atas lima aspek, yaitu:
1. External focus adalah pengelolaan dan pengorganisasian suatu SBU yang mengacu pada permasalahan yang timbul karena faktor-faktor eksternal.
2. Identifiable competitor adalah SBU yang didesain sedemikian rupa sehingga para pesaing SBU tersebut dapat teridentifikasikan. 
3. Autonomous profit center adalah SBU yang beroperasi sebagai suatu bisnis tersendiri dengan tujuan serta sasarannya sendiri yang dipimpin oleh seorang manajer. 
4. Distinct marketing strategy adalah setiap SBU yang memiliki strategi pemasaran tersendiri dan berbeda dengan unit bisnis lainnya.
5. Separate accounting adalah SBU yang bersaing sebagai unit yang berdiri sendiri dan harus dapat menghitung keuntungan dan biaya-biayanya sendiri, sehingga ia harus mampu memiliki sistem pembukuan yang terpisah dari unit lainnya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar