THE NATURE OF STRATEGY IMPLEMENTATION
Strategi implementasi adalah amplifikasi dan pemahaman tentang strategi
baru dalam organisasi (Mintzberg, 1994). Penjelasan melibatkan pengembangan
struktur baru, proses dan keberpihakan lain organisasi (Galbraith &
Kazanjian, 1986).
Beberapa hal penyebab Kegagalan Strategic
rencana implementasi
Strategi implementasi lebih penting untuk organisasi dari
perumusan strategi karena jika strategi tidak berhasil dilaksanakan oleh staf
dan manajemen, biaya dan kerusakan tumbuh lebih dari kegagalan tahap formulasi
strategi. Alasan utama kegagalan pelaksanaan strategi adalah sebagai berikut.
1) Feurer di al (1995)
mengidentifikasi kurangnya komunikasi antara pembuat strategi dan staf dan
manajemen organisasi. Ini dapat berupa kurangnya komunikasi atau komunikasi
yang buruk.
2)
Schaap (2006) di
penelitiannya di industri kasino menemukan kegagalan untuk berkomunikasi Visi
dan tujuan strategis untuk employee‟s berarti bahwa para
pembuat strategi tidak memberikan informasi untuk Semua orang untuk memahami
apa yang seharusnya mereka lakukan dengan itu. Tujuan-tujuan baru diuraikan
tetapi tidak dikomunikasikan seluruh organisasi untuk bagaimana tujuan-tujuan
baru harus terlihat dan apa langkah-langkah seharusnya yang akan diambil. Komunikasi
yang buruk antara anggota tim bertanggung jawab untuk keputusan diimplementasi.
Harapan dan pendapat tidak dibagi secara terbuka, secara menyeluruh dan
efektif.
3)
Jooste dan Fourie (2009)
berpendapat bahwa ada banyak organisasi yang memiliki berbagai strategi tetapi
karena kurangnya komitmen dari para pembuat kebijakan dan kurangnya
kepemimpinan strategis strategi ini tidak menghasilkan hasil yang bermanfaat.
Alasan lain di balik kegagalan strategi adalah kurangnya minat dan efisien
kepemimpinan untuk menerapkan.
4)
Mapeter et al (2012)
menyatakan bahwa alasan yang menyebabkan kegagalan strategi dan walaupun
memiliki strategi terbaik, mereka bisa tidak membuahkan hasil di Zimbabwe itu
hanya karena negatif kepemimpinan perilaku
yang menunjukkan eksekutif strategi orang-orang yang tidak bertanggung jawab,
mereka adalah kurang berkomitmen pada strategi. Kurangnya kreatif visi
strategis dalam organisasi mereka tidak dapat memotivasi dan boot moral staf
untuk memperoleh tujuan-tujuan yang ditentukan, komunikasi antara manajemen
tingkat menengah dan tingkat tinggi manajemen di organisasi ini tetap sangat
rendah.
5)
Schaap (2006) menyatakan
bahwa manajemen puncak dan perilaku kepemimpinan mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan strategi. Manager‟s tidak memadai pemahaman
strategi perusahaan dan prospek masa depan, perhatian yang cukup dan dukungan
manajer dan mempengaruhi orang lain di organisasi terhadap pelaksanaan strategi
bisnis menghambat keberhasilan pelaksanaan strategi.
RESOURCE
ALLOCATION
Dalam ekonomi, alokasi sumber daya
adalah penunjukan sumber daya yang tersedia untuk berbagai penggunaan. Dalam
konteks seluruh perekonomian, sumber daya dapat dialokasikan dengan berbagai
cara, seperti pasar atau perencanaan pusat.
Dalam proyek manajemen, alokasi
sumber daya atau manajemen sumber daya adalah penjadwalan dari kegiatan dan
sumber daya yang diperlukan oleh kegiatan-kegiatan tersebut sambil
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya dan waktu proyek.
Alokasi sumberdaya adalah proses menetapkan dan mengelola aset dengan
cara yang mendukung tujuan strategis organisasi.
Alokasi sumberdaya meliputi mengelola aset berwujud seperti perangkat
keras untuk membuat penggunaan terbaik dari lembut aset seperti sumber
daya
manusia. Alokasi sumberdaya melibatkan menyeimbangkan kebutuhan yang bersaing dan prioritas dan menentukan jalannya paling efektif tindakan
untuk memaksimalkan penggunaan sumberdaya yang terbatas yang efektif
dan mendapatkan pengembalian investasi terbaik.
MANAGEMENT CONFLICT
Definisi Konflik :
Menurut
Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak
yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu
atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan
Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai
atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun
dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut
dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang
mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)
Menurut Wood, Walace,
Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik
(dalam ruang lingkup organisasi) adalah: suatu situasi dimana dua atau banyak orang
saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan
organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang
lainnya.
Menurut Stoner Konflik
organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka
atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.
(Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster
mendefinisikan konflik sebagai:
1.
Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok
satu sama lain.
2.
Keadaan atau perilaku
yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri
Konflik adalah :
1.
Setidak-tidaknya ada dua pihak secara
perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling
bertentangan.
2.
Paling tidak timbul pertentangan
antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan,
memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling
berlawanan.
3.
Munculnya interaksi yang seringkali
ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan,
mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan
seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan
fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan
tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis
seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4.
Munculnya tindakan yang saling
berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5.
Munculnya ketidakseimbangan akibat
dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial,
pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan
Perkembangan kearah terjadinya Konflik :
1.
Konflik masih tersembunyi (laten) Berbagai
macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak
dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2.
Konflik yang mendahului (antecedent
condition) Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang
belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3.
Konflik yang dapat diamati
(perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) Muncul
sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4.
Konflik terlihat secara terwujud
dalam perilaku (manifest behavior) Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik
dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi
cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5.
Penyelesaian atau tekanan konflik Pada
tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu
penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6.
Akibat penyelesaian konflik Jika
konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat
memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak,
maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi
produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber Konflik
:
1.
Konflik Dalam Diri Individu
(Intraindividual Conflict)
A.
Konflik yang berkaitan
dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada
tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal
conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang
didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih,
tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang
didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu
pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan
tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang
yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang
didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan
yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam
hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai
resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di dalam organisasi, konflik
seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan ambigius dalam tugas dan
tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah
ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley and House memberikan
kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam
organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi
yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan
terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila
muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk
mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi
lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono,
1993, p.15).
Stevenin (2000, pp.132-133), ada
beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi
misalnya adanya:
1. Pemecahan masalah secara
sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan
perhatian utama.
2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak
bersedia saling memberi dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada
masalah yang sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak
pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
3. Tidak sepakat. Tingkat konflik
ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak.
Sebagai manajer, manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang
sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah
ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini,
sering kali pendapat dan gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di
antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan. Ini
adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya
saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila
amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah
mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang
menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu
pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak
ada penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah salah
satu jenis konflik yang paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi secara
terbuka dan terus-terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa
diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan
negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1.
Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya
penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan
efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh
karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan
kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada
karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada
waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara
efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama
yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk
melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam
organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung
jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya
tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas
kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan
aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan
bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat
mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan
(education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi
tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan
terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono,
1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya
yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari
terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi
karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung
seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio,
berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di
tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak
jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh
karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam
membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar
karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat
mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang
sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul
perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan,
merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang
bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan
mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya
mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin
atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat
intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan
karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini
bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena
produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk
kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost
benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan
dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena
itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan
terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga
dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer
harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena
mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi
yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai
prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang
diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian
pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap
pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau
“lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung
banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan
pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah
orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah
emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan
motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah
kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat
sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan
stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan
membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).
Strategi
Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135),
terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber
masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi
kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada
diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi
perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau
menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting.
Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan
bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan
bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan
keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah
penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali
menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada
keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu
mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat
melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak
berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga
memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh
dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan
dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri,
bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula
sebaiknya.
2.Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika
dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa
melibatkan pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik
yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah
penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang
terbesar.
Menurut
Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam
Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk
mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina
hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan
penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan
diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan
keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal
Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112),
untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga
strategi yaitu:
1) Strategi
Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau
kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai
mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang
terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai
penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik
bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan
mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh
pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri.
Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana
pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga
bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik
melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator
untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator,
karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap
pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi
Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda
kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang
konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk
menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono,
1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses
penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai
akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan
damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk
menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas
bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk
pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi
faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi
(communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan,
yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui
sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual
traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi
pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi
yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang
berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources)
secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3)
Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang
manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan
menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang
terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana
kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing
dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang
jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam
strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik
interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu
(Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau
memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak
(Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi
proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau
menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak
yang terlibat konflik
3. Strategi
Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125),
ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik
organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis
(Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya
hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik
vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki
(hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi
karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini
biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis
untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic
Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie)
didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural
hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif
Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral,
biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik.
Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara
konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif
kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System
Approach)
Model pendekatan perundingan
menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi
menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem
(system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menekankan pada
hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi
dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural
(Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui
mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural
guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua
belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk
mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling
ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan
tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.
MATCHING STRUCTURE
Dalam
pelaksanaan suatu strategi, setelah merancang struktur keorganisasian dan
sistem pengendalian stretegi langkah selanjutnya adalah mencocokkan antara
struktur dan sistem pengendalian strategi berdasarkan strategi yang dipilih
untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran perusahaan. Struktur
keorganisasian yang cocok dengan sistem pengendalian merupakan wujud
pelaksanaan strategi pada tingkat pendahuluan.
Hill dan
Jones (1998: 438) memaparkan secara singkat mengenai pokok bahasan pelaksanaan
strategi, yaitu membawa bersama-sama formulasi strategi dan pelaksanaan
strategi dan menguji bagaimana bentuk pengaruh-pengaruh atas strategi yang
dipilih suatu perusahaan atas struktur oragniasional dan sistem kendali. Alasan
perusahaan seperti pengalaman maslalah IBM dan General Motor dengan struktur organisasi
dan sistem kendali mereka sekarang menjadi jelas; mereka telah kehilangan
kendali lingkup struktur organisasi mereka, dan ongkos birokrasi mereka yang
mengeskalasi. Tantang bagi suatu perusahaan yaitu mengelola struktur
organisasinya dan sistem kendalinya juga agar ia dapat mengekonomisasi pada
ongkos birokrasi dan meyakinkan bahwa semua itu cocok terhadap antara potensi
keuntungan atas strateginya.
Berikut
ini adalah butir-butir utama suatu pelaksanaan strategi:
- Melaksanaakan strategi melalui struktur
organisasional dan sistem kendali adalah mahal, dan perusahaan perlu
memantau dan melihat secara mendalam dan menyeluruh struktur oragnisasi
mereka yang bersifat konstan dalam aturan birokrasi yang ekonomis.
- Pada tingkat fungsional, tiap fungsi mensyaratkan
suatu jenis struktur organisi dan sistem kendali yang berbeda untuk
mencapai tujuan-tujuan fungsionalnya.
- Pada tingkat bisnis, struktur oraganisasi dan sistem
kendali seyogyanya didesain untuk mencapai tujuan-tujuan tingkat-bisnis,
yang berarti mengelola hubungan antara semua fungsi yang memungkinkan
perusahaan membangun suatu kompetensi yang berbeda (distinctive
competency).
- Biaya-kepemimpinan dan strategi-strategi
diferensiasi masing-masing mensyaratkan suatu struktur dan sistem kendali
yang cocok sebagai sumber atas keunggulan bersaing (advantage
competitive). Melaksanakan suatu simulasi biaya-kepemimpinan dan
strategi difenesiasi adalah masalah yang wujud pada banyak perusahaan
sekarang.
- Sebagai suatu perusahaan yang bergerak dari suatu
strategi multidomestik sampai internasional, global, dan lintasnasional,
ia membutuhkan perubahan suatu struktrur organisasi yang sangat kompleks
mengikutinya untuk megkoordinasi peningkatan tranfer sumber-sumber yang
kompleks. Dengan cara yang sama, ia membutuhkan penyesuaian suatu
integrasi dan sistem kendali yang kompleks yang menfasilitasi pengetahuan
atau pelajaran global. Kapan mereka berhasil yang diperoleh dari sinergi,
sering kali perusahaan mengadopsi suatu struktur organisasi matriks-global
(a global-matrix structure) untuk memberikan pengetahuan dan
keahlian.
- Pada tingkat perusahaan, suatu perusahaan seyogyanya
memilih struktur organisasi dan sistem kendali yang akan mengikutinya
untuk operasi (=tindakan) suatu kumpulan atas bisnis yang efisien.
- Selama perubahan strategi perusahaan mereka
sepanjang waktu, mereka seyogyanya mengubah struktur organisasi mereka
sebab strategi yang berbeda yaitu dikelola dengan cara yang berbeda.
- Profitabilitas atas merjer dan akuisisi bergantung
pada struktur oragnisasi dan sistem kendali yang diadopsi perusahaan untuk
mengelolanya dan cara suatu perusahaan mengintegrasi (=memadukan) kedalam
bisnisnya yang ada.
- Untuk mendorong (to encourage) usaha baru
internal, perusahaan seyogyanya mendesain struktur oragnisasi yang
memberikan divisi yang otonom yang dibutuhkannya dalam aturan untuk
membangun produk baru dan melindunginya dari campur tangan yang berlibahan
oleh para manajer perusahaan.
- Lebi jauh (increasingly), pertumbuhan atas
penggunaan sumber-luar (outsourcing) telah membimbing perusahaan
untuk membangun struktur jaringan-kerja. Perusahaan yang sejati (virtual
corporation) yaitu menjadikan suatu realitas sebagai sistem informasi
komputer (computer information systems) menjadi yang lebih canggih.
STRUKTUR DAN KONTROL PADA TINGKAT FUNGSIONAL
Telah
dijelaskan bahwa pada strategi tingkat-fungsional, dijelaskan bagaimana
fungsi-fungsi suatu perusahaan dapat membantu perusahaan untuk mencapai
superioritas efisiensi, mutu, inovasi, dan tanggapan pelanggan – dikenal
sebagai the four building of competititve advantage. Juga telah
dijelaskan bagaimana para manajer dapat membantu tiap fungsi untuk membangun
suatu kemampuan yang berbeda (a distintive competency). Sekarang akan
dijelaskan cara para manajer strtategik dapat menciptakan suatu struktur dan
sistem kendali untuk mendorong (to encourge) pengembangan atas beragam
kemampuan atau keahlian fungsional yang berbeda.
Keputusan-keputusan
pada tingkat fungsional masuk dalam dua kategori: pilihan tentang tingkat
diferensiasi vertikal dan pilihan tentang pemantauan dan evaluasi sistem.
(Pilihan tentang diferensiasi horizontal adalah tidak relevan karena
kita mempertimbangkan setiap fungsi individual). Pilihan bergantung pada
kemampuan suatu perusahaanm yang berbeda uang ingin dikejarnya.
Strategic Business Unit (SBU)
Unit Bisnis
Strategis atau Strategic Business Unit (SBU)
adalah unit bisnis independen di bawah perusahaan yang
bertujuan untuk mengoptimalisasi sumber daya dan memaksimalkan nilai
perusahaan. SBU menyediakan produk dan pelayanan kepada
pelanggan internal maupun pihak ketiga.
SBU umumnya merupakan suatu unit
mandiri dan suatu perusahaan dapat
memiliki beberapa SBU. Sebagai contoh, Garuda Indonesia memiliki
empat SBU yang bertanggung jawab langsung kepada Dewan Direktur.
Ciri-Ciri Strategic
Business Unit (SBU)
Strategic Business Unit (SBU)
pertama kali diperkenalkan tahun 1979 oleh Mc. Kensey and Co. dalam
kerjasamanya dengan General Electric. SBU didefinisikan sebagai
suatu cara mengelola sebuah bisnis sehingga tiap unit menjual sekumpulan
produk/jasa kepada sekumpulan pelanggan dalam persaingan dengan sekumpulan
pesaing.
Ciri-ciri SBU terdiri
atas lima aspek, yaitu:
1. External focus adalah
pengelolaan dan pengorganisasian suatu SBU yang mengacu pada permasalahan yang
timbul karena faktor-faktor eksternal.
2. Identifiable competitor adalah
SBU yang didesain sedemikian rupa sehingga para pesaing SBU tersebut dapat
teridentifikasikan.
3. Autonomous profit center adalah
SBU yang beroperasi sebagai suatu bisnis tersendiri dengan tujuan serta
sasarannya sendiri yang dipimpin oleh seorang manajer.
4. Distinct marketing
strategy adalah setiap SBU yang memiliki strategi pemasaran tersendiri
dan berbeda dengan unit bisnis lainnya.
5. Separate accounting adalah
SBU yang bersaing sebagai unit yang berdiri sendiri dan harus dapat menghitung
keuntungan dan biaya-biayanya sendiri, sehingga ia harus mampu memiliki sistem
pembukuan yang terpisah dari unit lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar