Senin, 03 Oktober 2016

QUIZ  5

Jelaskan secara komprehensif tentang pentingnya "pemikiran kreatif dan tindakan inovatif" untuk memulai, mengembangkan, dan keberlanjutan (sustainability) bisnis.

Keyword : Pemikiran Kreatif, Tindakan Inovatif,

Melihat pentingnya pemikiran kreatif dan tindakan inovatif  untuk memulai, mengembangkan dan keberlanjutan pikiran saya mengarah kepada KEWIRAUSAHAAN.

Dalam konteks bisnis, kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan peluang di pasar.

Kreativitas diartikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan dan menghadapi peluang.

Sedangkan keinovasian diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan dan peluang untuk mempertinggi dan meningkatkan taraf hidup. Jadi dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang sistematis untuk menerapkan sikap kreatif dan inovasi dalam mengembangkan ide-ide baru guna menghadapi persaingan bisnis atau usaha.

Dari konsepsi di atas, kewirausahaan dicirikan oleh beberapa karakteristik, yaitu Kreativitas, yaitu kemampuan mencipta dan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang, Inovasi yaitu kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang, dan Mandiri, yaitu suatu sikap untuk tidak selalu bergantung pada orang lain.

 Dan untuk menjelaskan secara komprehensif tentang pentingnya "pemikiran kreatif dan tindakan inovatif" untuk memulai, mengembangkan, dan keberlanjutan (sustainability) bisnis, saya jabarkan sebagai berikut :

A.    Latar Belakang
B.    Pokok Permasalahan
C.     Budaya Kewirausahaan di Luar Negeri
1)      Amerika Serikat
2)    Singapura
3)    Korea Selatan
D.    Praktek kewirausahaan di Indonesia
E.     Keunggulan yang di miliki Indonesia
1)      Keunggulan Komparatif Benua Maritim
2)    Keunggulan Kompetitif
3)    Keunggulan Lingkungan
4)    Keunggulan Budaya
F.     Proses Kewirausahaan secara sustainability
1)      Penggali Ide
2)    Pengembangan Ide
3)    Penyebaran Ide
G.    Kesimpulan



A.  Latar Belakang

Membangun dan mendorong kewirausahaan adalah salah satu jalan strategis membangun masyarakat yang maju dan berdikari. Keberadaan kewirausahaan yang besar, sehat, dan berkembang bisa menjadi solusi riil dalam hal penciptaan lapangan kerja. Hal ini juga menjadi salah satu terobosan yang signifikan dalam mengantisipasi terjadinya pertumbuhan penduduk yang semakin pesat yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan jumlah lapangan kerja.

Data BPS Februari 2015 mencatat bahwa Angkatan kerja Indonesia pada Februari 2015 sebanyak 128,3 juta orang, bertambah sebanyak 6,4 juta orang dibandingkan Agustus 2014 atau bertambah 3 juta orang dibanding Februari 2014. Tingkat Pengangguran Terbuka Februari 2015 sebesar 5,81%, meningkat dibandingkan TPT Februari 2014 sebesar 5,70%. Ini berarti, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, maka potensi TPT akan semakin meningkat jika tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan pekerjaan.

Data Bappenas menyebutkan bahwa proyeksi penduduk Indonesia sampai tahun 2035 diperkirakan mencapai 305,652,400 juta jiwa12. Jika tidak ada terobosan kebijakan yang signifikan, bisa dibayangkan TPT akan semakin meningkat, dan akan berimplikasi pada berbagai masalah sosial. Oleh karena itu, kewirausahaan nasional perlu menjadi kebijakan strategis.

Tantangan lain yang juga perlu diantisipasi ialah pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun  ini. Penguatan dan peningkatan kapasitas SDM pelaku wirausaha menjadi pekerjaan serius yang harus menjadi prioritas untuk bisa bersaing secara terbuka. Oleh karenanya, perlu ada kebijakan dan regulasi yang mampu memperkuat dan memberdayakan wirausaha Indonesia. Dengan semakin tumbuhnya wirausaha di Indonesia akan berkontribusi pula terhadap peningkatan pemasukan sektor pajak bagi Negara. Lebih dari itu, tumbuhnya dunia kewirausahaan akan menjadi penopang sekaligus ujung tombak pembangunan ekonomi nasional. Dari identifikasi beberapa persoalan di atas dan berbagai tantangan ke depan yang semakin komplek dan kompetitif, diperlukan sebuah terobosan kebijakan menyangkut upaya mengubah mindset atau paradigma berfikir tentang kewirausahaan nasional. Hal ini sekaligus menggambarkan regulasi yang ada belum mampu memberikan dukungan secara optimal kegiatan pengembangan kewirausahaan nasional. Oleh karena itu diperlukan sebuah regulasi kebijakan yang mengatur secara sistematis, komprehensif, dan massif kewirausahaan nasional. Faktor edukasi menjadi elemen yang sangat penting dalam rangka mengubah paradigma (cara pandang) masyarakat terhadap kewirausahaan nasional. Dalam edukasi, sistem kurikulum kewirausahaan yang terpadu menjadi unsur penting sebagai salah satu upaya membentuk generasi yang berjiwa entrepreneurship. Dalam menghadapi persaingan di dunia internasional yang semakin kompetitif, diperlukan model pengembangan kapasitas SDM wirausaha untuk menghasilkan wirausaha yang tangguh.

Menurut Indarti & Kristiansen14, intensi wirausaha seseorang terbentuk melalui tiga tahap :
·        yaitu motivasi (motivation),
·        kepercayaan diri (belief) serta ketrampilan dan
·        kompetensi (Skill & Competence). Setiap individu mempunyai keinginan (motivasi) untuk sukses. Individu yang memiliki need for achievement yang tinggi akan mempunyai usaha yang lebih untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Kebutuhan akan pencapaian membentuk kepercayaan diri (belief) dan pengendalian diri yang tinggi (locus of control). Pengendalian diri yang tinggi terhadap lingkungan memberikan individu keberanian dalam mengambil keputusan dan risiko yang ada.

Untuk mengoptimalkan fungsi kewirausahaan sebagai pilar yang kokoh dalam perekonomian Indonesia, diperlukan langkah-langkah untuk mengembangkan paradigma baru dalam pembangunan kewirausahaan. Pembudayaan kewirausahaan sebagai gerakan ekonomi rakyat harus didukung oleh politik hukum pemerintah, baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, untuk menyusun rencana strategis dalam menggagas kewirausahaan dan kemitraan berdasarkan manajemen integratif. Dalam pembangunan kewirausahaan, Indonesia memiliki modal dasar untuk mengembangkan kewirausahaan sebagai pondasi ekonomi sejalan dengan Visi Pembangunan Nasional Tahun 2005-2025 yaitu: “Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”5 Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 itu mengarah pada pencapaian tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi pembangunan nasional sebagai berikut:
(1)               Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,  berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila;
(2)             Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing;
(3)             Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum;
(4)            Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu;
(5)             Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan;
(6)            Mewujudkan Indonesia asri dan lestari;
(7)             Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional;
(8)             Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional6

Pentahapan pembangunan RPJPN 2005-2025 meliputi:
(1)               RPJM 1 (2005-2009) Menata kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman, damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik;
(2)             (2) RPJM 2 (2010-2014) Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan IPTEK, memperkuat daya saing perekonomian;
(3)             RPJM 3 (2015-2019) Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetiutif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK;
(4)            RPJM 4 (2020-2025) Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif

kewirausahaan berperan strategis untuk menurunkan kemiskinan dengan menciptakan peluang-peluang kerja yang diinisiasi masyarakat berdasarkan potensi dan keunggulannya masing-masing. Salah satu agenda untuk mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan adalah melalui pengembangan kewirausahaan. Pengembangan kewirausahaan berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan sebagaimana tergambar dalam visi dan misi pemerintah di atas. Kewirausahaan didorong untuk berkembang luas sesuai kebutuhan sehingga menjadi wahana yang efektif untuk meningkatkan posisi tawar dan efisiensi kolektif masyarakat di berbagai sektor kegiatan ekonomi sehingga menjadi gerakan ekonomi yang berperan nyata dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Sementara itu, pemberdayaan usaha mikro menjadi pilihan strategis untuk meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah dalam rangka mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan melalui peningkatan kapasitas usaha dan ketrampilan pengelolaan usaha serta sekaligus mendorong adanya kepastian, perlindungan, dan pembinaan usaha. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, diperlukan revitalisasi fungsi kewirausahaan yang didasarkan pada manajemen sumber daya berbasis masyarakat dengan melibatkan peran pemerintah dan masyarakat secara partisipatif.

Terkait dengan kebijakan di bidang kewirausahaan nasional, di tahun 1950, Pemerintah RI pernah mengeluarkan sebuah kebijakan ekonomi yang bernama Program Ekonomi Gerakan Benteng. Penggagas Program ini adalah Prof. Soemitro Djoyohadikusumo. Gagasan utama program ini bertujuan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Pemerintah menginginkan struktur ekonomi bangsa Indonesia harus lebih mandiri dan mengedapankan kepentingan nasional. Di samping itu, program ini juga bertujuan menumbuhkan kelas wirausaha pribumi sebagai elemen penting dalam membentuk struktur ekonomi nasional tersebut. Strategi untuk mencapai tujuan tersebut ialah dengan memberikan bantuan kredit dan fasilitas lainnya yang memudahkan bagi wirausaha pribumi untuk tumbuh dan berkembang

Akan tetapi, kebijakan tersebut mengalami kegagalan. Program Ekonomi Gerakan Benteng tersebut tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Wirausaha pribumi yang mendapatkan fasilitas kredit dari Pemerintah justru menyalahgunakan maksud baik pemerintah dengan mengalihkan fasilitas tersebut kepada kelompok pengusaha lain. Para wirausaha pribumi lebih memilih untuk menikmati fee keuntungan dari fasilitas yang digunakan pihak lain.
Studi literatur yang menyorot faktor kegagalan kebijakan ini dipotret dalam buku yang berjudul Bisnis dan Politik yang ditulis oleh Yahya A. Muhaimin Salah satu aspek yang disorot dalam buku ini ialah tidak adanya instrumen kebijakan yang memperkuat kapasitas wirausaha pribumi dan masih dominannya sikap dan mental pribumi yang cenderung hanya ingin mengambil keuntungan tanpa harus bekerja keras. Sehingga, wirausaha pribumi tidak mampu bersaing dengan kelompok wirausaha lain. Aspek mental dan kapasitas pengusaha pribumi inilah yang dapat dianggap menjadi dua penyebab kegagalan program Ekonomi Gerakan Benteng.

B.  Pokok Permasalahan

Setidaknya, ada tiga fakta menyangkut potret dunia kewirausahaan di Indonesia.
1)                  Jumlah wirausaha di Indonesia jauh tertinggal dibandingan dengan Negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura yang sudah mencapai di atas 4%. Jika dibuat prosentase dari jumlah populasi kita yang mencapai 240 juta, maka wirausaha kita baru mencapai 1,65%. Padahal, kemajuan suatu Negara akan terwujud jika Negara tersebut memiliki minimum 2% wirausaha dari total penduduknya.

2)                menurut The Global Entrepreneurship And Development Index 2014, dalam hal kesehatan ekosistem kewirausahaan, Indonesia masih menempati peringkat ke-68 dari 121 negara di dunia.

3)                berdasarkan The Earns and Young G20 Entrepreneurship Barometer 2013, peringkat Indonesia menempati ranking terendah di antara Negara-negara G-2013.

Tiga fakta tersebut merupakan cerminan dari berbagai masalah yang masih menggelayuti dunia kewirausahaan nasional.

1)                     persoalan mindset (cara berfikir) sebagian masyarakat Indonesia yang masih berfikir mendapatkan pekerjaan setelah selesai sekolah/kuliah. Masyarakat juga masih memandang kewirausahaan sebatas usaha dagang atau bisnis semata. Padahal, wirausaha, seperti disampaikan di atas, adalah individu yang memiliki kemampuan berfikir kreatif dan bertindak inovatif dalam mencari peluang dan terobosan baru sehingga menghasilkan gagasan dan produk yang berpotensi ekonomi tinggi.

2)                   persoalan kapasitas Sumber Daya Manusia pelaku wirausaha yang masih rendah. Hal itu tercermin dari kurangnya kemampuan manajerial dalam menjalankan strategi usahanya. Kurangnya pemahaman bidang usaha yang akan digelutinya juga menunjukkan masih rendahnya kapasitas SDM wirausaha tanah air. Di samping itu, ketidakmampuan mengelola administrasi dan keuangan masih melekat dalam praktek wirausaha di Indonesia. Apalagi, perkembangan iptek berbasis internet memerlukan kemampuan pelaku wirausaha yang tertarik menggeluti usaha bisnis online.

3)                   persoalan regulasi. Berkembangnya usaha bisnis online yang tidak hanya meliputi wilayah domestik, tetapi juga lintas Negara, membutuhkan regulasi yang mampu mengantisipasi berbagai persoalan yang berpotensi menghambat dunia wirausaha.

4)                   akses permodalan bagi wirausaha pemula yang masih menemui banyak kendala. Skema permodalan menyangkut berbagai syarat yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha, termasuk kapasitas, karakter, dan jaminan yang belum sepenuhnya bisa dipenuhi oleh para pelaku wirausaha pemula. Regulasi yang berpihak pada pelaku wirausaha pemula, mungkin perlu menjadi isu yang harus dituntaskan.
4)
C.   Budaya Kewirausahaan di Luar Negeri

Dengan adanya berbagai masalah yang masih menggelayuti dunia kewirausahaan nasional, maka kita perlu menengok budaya kewirausahaan di beberapa Negara antara lain :

1.           Amerika Serikat

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), kewirausahaan (entrepreneurship) merupakan salah satu pilar paling fundamental budaya AS. Elemen yang tak kalah penting adalah ‘can-do spirit’ atau sikap positif tentang kemampuan diri. Baik entrepreneurship maupun can-do-spirit merupakan buah dari frontier culture, yakni aspek unik masyarakat AS yang merefleksikan sebuah obsesi untuk mencapai batas-batas terjauh dari kemampuan manusia. Frontier culture, yang berakar dari nilai-nilai individualisme itu, secara karakteristik berasosiasi kuat dengan dorongan untuk terus menerus melakukan perbaikan diri (self-improvement). Nilai nilai
ini menjadi pondasi, bahkan prasyarat, bagi tumbuh kembangnya inovasi dan innovation culture di AS. Semangat self-improvement secara esensial mendorong masyarakat AS terus ‘memberontak’ mencipta untuk mencapai titik terjauh (frontier). Nilai-nilai ini juga sekaligus menjadi pondasi bagi semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Frontier culture mengapresiasi, sekaligus memberi masyarakat AS, kepercayaan atas kemampuan diri sendiri; yang pada tingkatan lebih tinggi, berasosiasi dengan kecenderungan politik (political tendency) masyarakat AS untuk percaya pada ‘keperkasaan pasar’. Masyarakat AS dikenal memiliki sikap yang sangat toleran terhadap kesalahan berbisnis (business failure). Di klaster IT Silicon Valley ada sebuah lelucon: kekeliruan dalam menerapkan resep bisnis (teknik pemasaran, misalnya) sangat diharapkan, bahkan ditunggu-tunggu kedatangannya. Penerimaan yang luas terhadap business failure ini turut mendorong budaya risktaking di AS. Sementara di Indonesia, atmosfer yang dikembangkan selama beberapa decade (terutama di sektor pendidikan dan parenting) justru kurang mendorong semangat bereksperimen dan sikap tidak takut salah. Ini misalnya tampak dari kecenderungan pengusaha Indonesia untuk membeli teknologi lisensi asing dalam proses produksi daripada repot-repot berinvestasi mengambil resiko di litbang teknologi guna menciptakan terobosan.

Secara umum budaya wirausaha amerika memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.        Masyarakat yang berorientasi pada peluang yang mentolerir kegagalan
2.       Lebih menghargai kesuksesan individu
3.       Penggunaan pilihan saham didorong oleh kebijakan pajak
4.       Kewirausahaan didorong secara akademis melalui program yang nyata
5.       Kurikulum SMP dan SMA yang menekankan aktivitas pembelajaran grup dan pengerjaan proyek kewirausahaan

2.         Singapura

Penciptaan talenta lokal dilakukan dengan menjadikan negeri ini sebagai hub bagi lembaga pendidikan terbaik di dunia serta markas perusahaan-perusahaan multinasional. Tak keliru, Singapura merupakan negara yang secara fenomenal berhasil menarik talenta terbaik dari mancanegara untuk mendongkrak kapasitas talenta dalam negeri. Peningkatan kapasitas teknologi negeri ini juga disandarkan pada kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional ini yang membuat Singapura berbeda. Artinya, daripada mengembangkan litbang indigenous, Singapura lebih suka menunggu limpahan knowledge dan transfer teknologi. Teknologi dari perusahaan-perusahaan multinasional ini diadopsi, diasimilasi dan didifusikan melalui pembentukan perusahaan high-tech lokal.
Guna merangkul perusahaan multinasional agar menambatkan aktivitas litbangnya di Singapura, pemerintah membangun sejumlah institusi pendukung terutama di bidang teknologi informasi, mikroelektronika, dan life science. National Scienceand Technology Board (NSTB) dibangun untuk membantu mengkoordinasi sektor litbang swasta agar mau membangun infrastruktur pendukung litbang. Laboratorium-laboratorium pemerintah juga menyediakan
layanan kepada perusahaan-perusahaan multinasional agar tetap berada di Singapura. Riset-riset aplikatif diprioritaskan. Sementara riset-riset dasar yang sekaligus ditujukan untuk mengembangkan talenta lokal digiatkan melalui kerja sama dengan perusahaan asing termasuk tawaran banyak beasiswa post-graduate dari pemerintah Singapura bagi peneliti-peneliti asing terbaik.

Secara umum karakteristik budaya kewirausahaan di singapura dapat diuraikan sebagai berikut :
1.        Mengubah kebijakan yang sebelumnya kaku, rezim berorientasi pada peraturan menjadi mendorong inovasi dan kewirausahaan
2.       Dewan Pengembangan Ekonomi Singapura memberikan penghargaan Phoenix Award bagi wirausahawan yang gagal lalu bangkit lagi dengan mendirikan start up baru
3.                  Kursus kewirausahaan bagi pelajar SMP sejak usia 13 tahun

3.      Korea Selatan

Penciptaan talenta di Korea Selatan merupakan bagian inheren dari penguatan Sinas di negara tersebut, yang menjadi pemicu pesatnya pertumbuhan output terkait inovasi dan pada gilirannya berimplikasi terhadap pesatnya pertumbuhan ekonomi.
Beberapa faktor berkenaan dengan Sinas (Sistem Inovasi Nasional) Korea Selatan yang mendorong munculnya output terkait inovasi seperti karya ilmiah, paten, proses dan produk baru, adalah:
1.        Aktivitas litbang di dalam sektor bisnis.
2.       Sektor riset di dalam pemerintahan dan publik.
3.       Sistem pendidikan tinggi dan universitas.
4.       Interaksi ketiga sektor di atas yang dapat dikategorikan di dalam aliran modal, sumber daya manusia, dan knowledge.
Penguatan Sinas Korea Selatan sekaligus berarti penyediaan infrastruktur iptek yang memadai, seperti infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi, di mana pada tahun 2004 Korea Selatan menempati peringkat pertama di dunia. “Miracle from Han River” sebutan untuk keajaiban pertumbuhan ekonomi Korsel salah satunya bertumpu pada perbaikan ekosistem inovasi.

Secara umum karakteristik budaya kewirausahaan di korea selatan adalah sebagai berikut :
1.        Deregulasi ekonomi dan arus perusahaan asing mengubah perilaku bisnis

2.       Ajaran Konfusius yang mengajarkan tidak mengkomersialkan berubah dengan industrialisasi cepat dan komersialisasi
3.       Uang menjadi ukuran kesuksesan pribadi sementara figur sebagai pengusaha dulu dianggap remeh
4.       Krisis ekonomi tahun 1997 menghasilkan restrukstrurisasi sistem korporasi pemerintah, salah satunya nilai kebebasan individu, menghasilkan UKM start up
5.       Para wanita Korea berpartisipasi dalam bisnis dan tingkat pendidikannya sama dengan pria

D.           Praktek kewirausahaan di Indonesia

Seperti juga negara-negara new emerging economies di Asia, Indonesia akan mengadopsi ‘jalan Silicon Valley’-nya Amerika Serikat dengan mendirikan innovation park pertama, “Bandung Raya Innovation Valley (BRIV)”. Inilah konsep percepatan pertumbuhan ekonomi berbasis-inovasi melalui intensifikasi program-program inkubasi bisnis dalam taman-taman iptek (science and technology park, S&T park). Di wahana taman iptek inilah talenta-talenta baru diciptakan. Lebih dari itu, konsep ‘inkubasi bisnis dalam-taman iptek’ bukan ditujukan sekadar untuk memproduksi karya ilmiah sebanyak banyaknya, namun dimaksudkan guna mendorong riset-riset yang dilakukan agar berorientasi pada kebutuhan pasar (market demand) untuk kemudian menghubungkannya dengan pihak industri yang dikawal oleh regulasi pemerintah yang mendukung. Sinergi antara pelaku utama inovasi, investor dan pemerintah ini diharapkan menstimulasi munculnya start-up bisnis berbasis inovasi teknologi yang pada gilirannya mendorong tumbuhnya sebuah koridor industri berbasis teknologi tinggi pertama di Indonesia.

 Pada tahap awal, kegiatan BRIV akan difokuskan pada bidang ICT, transportasi, energi dan bio science. Jika Malaysia terkenal dengan Multimedia Superhighway Corridor (MSC), BRIV telah memiliki koridor industri sesungguhnya, yang berkembang secara alami. Koridor industri ini meliputi area Jakarta-Cikampek-Cilegon-Bandung, yang jika dioptimalkan maka tentu saja akan lebih besar dari MSC. Jakarta dalam koridor ini berperan sebagai pusat bisnis; sementara korido Jakarta-Cilegon dan Jakarta-Cikampek adalah lokasi industri manufaktur yang telah establishe dan strategis, mengingat kedekatan dengan pelabuhan internasional (untuk keperluan pengiriman komponen dan produk jadi). Di Cilegon terdapat Krakatau Steel, di Cikampek terdapat Sony, Epson, Pirelli dan lain-lain. Sementara Bandung akan menjadi jangkar kegiatan litbang: terdapat lusinan institusi akademik papan atas dan SDM level internasional di kota ini. Sebut saja Institut Teknologi Bandung, yang akan berperan sebagai institusi penyumbang SDM utama dan aktor utama dalam BRIV; STT Telkom, Unpad, Unpar, Politeknik ITB, dan lain-lain. Ini belum termasuk sejumlah BUMN strategis di bidang ICT dan transportasi, seperti PT. Inti, PT. LEN, PT. Pindad dan PT. DI. Di tingkat akar rumput Bandung memiliki 120-an UKM berbasis high-tech yang akan menjadi penopang klaster industri ini sekaligus menunjukkan kesiapan BRIV berkembang menjadi industri global semacam Bangalore di India. Keberadaan UKM-UKM ini penting untuk menghindarkan foot-loose industry. BRIV tidak ditujukan untuk menciptakan koridor industry eksportir seperti sudah dilakukan di Cikampek-Cilegon dan Batam yang tidak berorientasi innovation enhancement. BRIV menginginkan terjadinya aliran knowledge dan SDM dari perguruan tinggi ke industri, seperti Stanford University ke Silicon Valley, AS. Lebih luas, BRIV merupakan realisasi dari strategi percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia berbasis penciptaan klaster inovasi, sebagaimana tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Terdapat enam koridor klaster inovasi, dengan kekhasan dan kekhususan peran masing-masing, yang terkonsentrasi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku. BRIV berada di koridor Jawa sebagai bagian dari koridor “pendorong industri dan jasa nasional”.
( Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, (2011:41)

Perbaikan ekosistem inovasi di Indonesia karenanya harus, bahkan hanya dapat, diawali dengan alokasi dana litbang yang memadai. Pendanaan litbang tidak saja akan mengandalkan suntikan dana pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetapi harus pula melibatkan perusahaan swasta secara progresif. Untuk mendapatkan skema pendanaan berupa venture capital, angel capital dan corporate social responsibility diperlukan tawaran proposal yang
sangat baik dan kompetitif serta memenuhi berbagai kriteria dari penyedia dana. Ini merupakan tantangan bagi para aktor inovasi dari berbagai kalangan baik bagi akademisi dan peneliti, maupun bagi pelaku usaha dan industri. Sebagaimana juga yang terjadi di negara-negara advanced economy, porsi pembiayaan litbang pemerintah bakal kian kecil dari waktu ke waktu. Persentase terbesar kelak akan dipegang swasta dibandingkan dengan porsi pemerintah dan BUMN.

Survei global dari World Intellectual Property Organization (WIPO) memasukkanc Indonesia sebagai negara paling malas mencipta (inventing). Ini tercermin dari kecilnya angka registrasi paten. Pada 2009 temuan made in Indonesia yang dipatenkan hanya berjumlah enam buah, atau tertinggal beribu-ribu kali lipat dibanding Jepang (224.795 paten) dan AS (135.193 paten), menempatkan peringkat paten Indonesia yang terendah di antara negara-negara G-20. Ketersediaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, pada kadar tertentu, merupakan salah satu faktor yang membuat manusia Indonesia lebih suka menjual apa yang dimiliki (pedagang)
 ketimbang mencipta apa yang tidak dimiliki (inventor). Sikap anti-perubahan, tertutup, dan kecenderungan untuk ‘bermain aman’ yang telah terlembagakan berpuluh-puluh tahun ini berkontribusi terhadap turunnya semangat berwirausaha (entrepreneurship), sebuah pilihan yang menuntut kreativitas dan keberanian mengambil risiko.
Pendekatan Triple Helix tatkala diterapkan di negara yang belum mengagungkan inovasi, semacam Indonesia, akan lebih sulit bekerja. Setidaknya beban pemerintah selaku regulator dan fasilitator akan menjadi lebih besar. Oleh karena itu, secara simultan, diperlukan upaya keras penciptaan budaya inovasi yang bukan saja harus didorong oleh pemerintah, tetapi oleh elemen masyarakat itu sendiri (bottom-up).
Buruknya ekosistem inovasi di Indonesia dibenarkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), badan PBB untuk hak kekayaan intelektual yang merilis Global Innovation Index (GII) setiap tahun. Survei WIPO tiga tahun terakhir bahkan menunjukkan kian tidak kondusifnya iklim berinovasi di Indonesia. Berada di urutan ke-49 peringkat GII pada 2009, Indonesia terus turun posisinya ke peringkat 72 (tahun 2010) dan belakangan urutan ke- 100 (tahun 2012), di bawah negara Afrika seperti Ghana dan Senegal. GII menjadi ukuran unjuk kerja (eko) sistem inovasi sebuah negara.

Survei GII disandarkan pada tujuh pilar sebagai pisau analisisnya. Lima pilar pertama merepresentasikan elemen-elemen perekonomian sebuah negara yang memungkinkan bias tidaknya inovasi terjadi, yakni:
1.   Institusi (lingkungan politik, regulasi, dan bisnis),
2.  SDM dan riset (pendidikan, pendidikan tinggi, dan litbang),
3.  Infrastruktur (TIK, infrastruktur umum, dan kesinambungan ekologis),
4.  Pemutakhiran pasar (pemberian kredit, investasi,serta kompetisi dan
      perdagangan),
4.     Pemutakhiran bisnis (pekerja berpengetahuan, jejaring inovasi dan penyerapan pengetahuan).

Hingga kini jumlah technopreneur wirusahawan berbasis inovasi teknologi di Indonesia sangatlah kecil: baru 0,24 persen dari jumlah total pengusaha di negeri ini, atau kurang dari 100 ribu orang. Padahal kecilnya jumlah dan kontribusi technopreneur, yang lazimnya tergabung ke dalam format usaha kecil menengah (UKM) itu, berdampak langsung terhadap rendahnya produktivitas dan ketahanan ekonomi nasional.

Penciptaan technopreneurs karenanya amat vital, dan ini dapat dilakukan melalui pusatpusat inovasi. Pusat inovasi termasuk di dalamnya adalah inkubator bisnis.
Dalam hal ini pusat inovasi dapat menjalankan berbagai peran strategis, antara lain:
1.        Fungsi intermediasi, yakni untuk membangun jalinan kemitraan   antara inventor, pemerintah dan industri, memberikan akses pasar,
2.       Fungsi promosi produk dan pendanaan bagi inventor; serta
3.       Fungsi konsultansi bisnis yakni dengan memberikan bantuan teknis seperti pembuatan businessplan.
Meski perannya sangat penting, inkubator bisnis di Indonesia kurang berkembang selama kurun waktu 20 tahun. Hingga kini baru terdapat sekitar 50 inkubator bisnis yang umumnya dikembangkan oleh perguruan tinggi dan litbang yasa pemerintah. Guna memperbaiki kondisi kurangnya technopreneur tersebut, upaya perbaikan yang dapat dilakukan, antara lain:
1.        Membangun dan meningkatkan jumlah pusat inkubasi dan inovasi teknologi sebagai upaya penciptaan kemampuan techno preneurship.
2.       Mendorong perguruan tinggi agar lebih capable dalam menilai risiko,
3.       Melakukan survei pasar, terkait hasil-hasil invensi masyarakat yang lahir dari incubator teknologi.
4.       Memfokuskan terhadap pendanaan aktivitas inkubasi teknologi yang berorientasi pada hibah sesuai arah riset strategis nasional.
5.       Menciptakan pemberian fasilitas kredit untuk UKM. Terkait hal ini, perlu difasilitasi skema
modal ventura (venture capital) untuk menjembatani hasil invensi sebelum menjadi inovasi yang dapat difasilitasi lewat bank.
Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk mencapai target PDB 3,7 triliun dolar AS pada tahun 2025, atau 4 hingga 5 kali lipat PDB saat ini, sebagaimana tercantum dalam “Visi Indonesia 2025”. Hanya dengan penciptaan ‘mesin-mesin pertumbuhan baru’ khususnya di daerah, maka mimpi itu dapat tercapai. Salah satu strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah adalah membangun pusat-pusat inovasi, yang diistilahkan sebagai ‘klaster inovasi daerah’, guna mengembangkan produk-produk unggulan daerah berbasis teknologi. Ini merupakan upaya strategis untuk mengoptimalkan potensi-potensi unggulan yang ada di daerah
 tertentu (sebagai contoh, Kalimantan dengan potensi energi yang besar; atau Papua-Maluku dengan sumber daya pangan dan perikanan), di mana pusat-pusat inovasi daerah ini akan berperan sebagai mesin pemberi nilai tambah melalui suntikan teknologi supaya produk-produk tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi, bukan menjualnya sebagai bahan mentah. Pusat-pusat
inovasi keunggulan di daerah ini akan dibangun, salah satunya, melalui pendirian perguruan tinggi yang memiliki kompetensi selaras dengan sumber daya di daerah atau memperkuat peran universitas yang ada. Lebih jauh ‘klaster inovasi’ ini akan menjadi wahana strategis untuk menghasilkan SDM yang bermutu dan kompetitif serta menciptakan kemitraan antara pihak akademik dan industri dengan kata lain, turut memperbaiki ekosistem inovasi di daerah.
Upaya menuju penciptaan klaster-klaster inovasi daerah ini dapat dilakukan antara lain dengan, pertama-tama, mengidentifikasi, memetakan, dan membangun database potensi-potensi daerah termasuk potensi industri kreatif dan industri strategis yang dapat dikembangkan menjadi keunggulan komparatif daerah. Termasuk juga mengidentifikasi dan merevitalisasi sumber daya iptek (SDM, lembaga pendidikan tinggi atau lembaga riset, fasilitas riset, infrastruktur) guna mengembangkan potensi daerah secara optimal. Upaya lainnya adalah mendorong setiap pemerintah daerah melakukan penataaan ekosistem inovasi untuk menciptakan suasana kondusif bagi para investor mulai dari sistem insentif, regulasi, kemudahan izin, sistem pelayanan, dan faktor terkait lainnya untuk membawa investasi dan foreign direct investment (FDI) ke daerah- daerah.
Model ‘inovasi hemat’ (Frugal innovation) lahir sebagai adaptasi terhadap sedikitnya sumber daya (resource constraints) di satu sisi, berkombinasi dengan besarnya kebutuhan (needs) dan rendahnya daya beli masyarakat di sisi yang lain. Ini memaksa produk baik disain,
proses, maupun rantai produksinya dibuat se-efisien mungkin ke level kebutuhan dasar (basic needs), yang pada gilirannya menuntut perubahan kelembagaan inovasi ke arah yang lebih terfragmentasi dan open-minded.

Indonesia memiliki sejumlah kriteria untuk terjun ke model inovasi baru ini:
1. Orang-orang kreatif dan cerdas,
2. Sumber daya terbatas terkait infrastruktur iptek, serta
3. Pasar domestik yang besar, khususnya pasar menengah ke bawah yang belum terakomodasi (unserved market).

E.   Keunggulan yang di miliki Indonesia

Dengan setumpuk permasalahan dan praktek kewirausahaan di Indonesia yang jauh dari perkembangan praktek kewirausahaan di beberapa Negara tetapi Indonesia memiliki 4 (empat)  keunggulan, yaitu :

1.                    Keunggulan Komparatif Benua Maritim

Ditaburi 17.508 pulau dan diliputi 70 persen laut (sebagian besar merupakan perairan dangkal), menjadikan Indonesia sebuah benua maritim (maritime continent), satu-satunya di dunia. Tak satu negara pun mampu menandingi Indonesia dalam hal biodiversity, energy diversity dan kekhasan benua lautnya. Tidak Brasil, tidak pula Amerika Serikat (sebagai benua non-kepulauan), apalagi Singapura dan Jepang (yang miskin sumber daya alam). Inilah keunggulan komparatif Indonesia yang sangat menonjol sebagai modal besar untuk bersaing di era ekonomi hijau.
Namun sebagian besar kekayaan mentah ini belum dieksplorasi, dieksploitasi dan diberi suntikan inovasi supaya menjadi produk-produk bernilai tambah tinggi. Andai dapat diolah secara cerdas, produk-produk tersebut nantinya dapat langsung dilempar ke pasar domestik guna memenuhi kebutuhan 234 juta penduduk pasar yang sangat besar. McKinsey Global Institute (2012) memprediksi bakal meroketnya jumlah masyarakat berdaya beli tinggi (consuming class) di Indonesia pada tahun 2030 tiga kali lipat dari saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa di masa mendatang pasar domestik negeri ini bukan saja kian besar, tetapi juga kian agresif, yang siap menyerap produk-produk bernilai tambah tinggi hasil karya tangan anak-anak negeri: “dari kita, untuk kita”. Besarnya pasar domestik juga merupakan keunggulan komparatif lain negeri ini; satu hal yang tak dimiliki Singapura misalnya.

2.                  Keunggulan Kompetitif

Berkah kekayaan natural resources yang dimiliki negeri ini, andai diolah melalui campur tangan teknologi, berpotensi membawa Indonesia sebagai pemimpin global di sejumlah sector ekonomi hijau. Negeri ini adalah produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, kondisi yang membuka peluang bagi litbang, produksi, dan pemanfaatan secara massal bahan bakar nabati berbasis CPO seperti halnya Brasil dengan etanol. Area ceruk ini kian menjanjikan mengingat harga biofuel yang terus turun di tengah trend kenaikan harga bahan bakar fosil, yang memberikan kita kelak keunggulan kompetitif harga (cost competitiveness). Ketika cost competitiveness ini berkombinasi dengan besarnya pasokan bahan baku CPO, bukannya tidak  mungkin Indonesia menjadi ekonomi biofuel paling kompetitif dan berpengaruh di dunia, menyaingi Brasil.
Indonesia juga memiliki keunggulan kompetitif terkait kapasitas inovasi. The Global Competitiveness Report merilis, indeks kapasitas inovasi Indonesia dalam Global Innovation Index adalah 31.8 (peringkat 87 dari 143 negara) yang berada di atas India mencerminkan kualitas sumber daya manusia negeri ini terkait kemampuan untuk menciptakan inovasi-inovasi (meski potensi ini belum teroptimalkan sepenuhnya menyusul belum mapannya ekosistem inovasi). Indikator inovasi Indonesia juga berada pada posisi lumayan: peringkat ke-36 dari 139 negara yang dinilai oleh World Economic Forum (WEF). Terkait peringkat daya saing, laporan WEF juga memberi angin segar: pada tahun 2015 posisi Indonesia secara keseluruhan berada di
peringkat 46 Global Competitiveness Index, bergeser cukup signifikan dari peringkat ke-54 pada tahun 2009.

3.                  Keunggulan Lingkungan

Aksi global melawan climate change tidak bisa tidak melibatkan Indonesia sebagai pusat iklim dunia. Sebagai satu-satunya benua maritim di muka Bumi, dinamika perubahan iklim di kawasan Indonesia akan berpengaruh terhadap dinamika iklim kawasan Asia bahkan dunia.
Serangkaian peristiwa banjir yang melanda Asia Tenggara dan Selatan serta Australia pada 2007, misalnya, diyakini tak terlepas dari kejadian banjir besar Jakarta pada tahun yang sama, sebagai dampak posisi Indonesia selaku pusat sirkulasi monsun Asia. Kondisi ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai kawasan kunci untuk mengerti masalah iklim di tingkat global: pengetahuan yang menyeluruh tentang kondisi iklim Indonesia dinilai akan sangat membantu menekan dampak negatif global warming.
Sebagai pengendali iklim global, beban Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seharusnya lebih besar ketimbang negara lain. Karenanya, bagi Indonesia, inovasi untuk menghasilkan produk-produk emisi rendah (low-emission) merupakan imperatif yang mendesak.
Situasi ini sebetulnya juga merupakan peluang bagi Indonesia untuk merintis kerjasama saling menguntungkan (win-win cooperation) dengan komunitas internasional. Dalam kerjasama ini Indonesia dapat berperan sebagai penyedia laboratorium alam bagi riset-riset iklim dan teknologi  bersih, sementara negara-negara maju selaku penyedia investasi riset dan sumber daya saintis. Melalui kerjasama ini, diharapkan terjadi transfer knowledge dan teknologi bersih.

4.                 Keunggulan Budaya

Budaya hidup hijau (green life style), sebagai nilai fundamental ekonomi hijau, telah memiliki akarnya dalam budaya tradisional Indonesia. Kita misalnya tak sulit menemukan kearifan lokal (local wisdom) di banyak masyarakat rural yang menjunjung tinggi keseimbangan ekologis atau harmonisasi alam ketimbang hasrat memburu ‘’kemajuan yang berlebih-lebihan’’ yang justru destruktif, dimana hal ini amat berkorelasi dengan prinsip triple bottom line dalam ekonomi hijau.
Jauh sebelum inovasi pupuk hayati (biofertilizer) digalakkan sebagai respons ambruknya kesuburan jutaan hektare tanah di Indonesia akibat penggunaan pupuk kimia, warga Desa Gunung Malang, Kabupaten Bogor, telah mengkritik panen tiga kali dari semula dua kali setahun yang dipaksakan pemerintah Orde Baru melalui program Revolusi Hijau. Warga desa menilai hal ini sebagai ‘’pemerkosaan’’ terhadap tanah. Di Desa Maria, Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, budaya hidup hemat, yang berkorelasi dengan prinsip efisiensi dalam green economy, juga telah terlembagakan dalam praktik hidup masyarakat komunal di sana melalui tradisi ampa fare. Ini merupakan ritual menyimpan padi di lumbung warga yang terletak di atas bukit, yang selain ditujukan guna menyiasati musim kemarau, juga untuk mendidik penduduk agar makan secukupnya, terhindar dari sikap konsumtif. Hngga kini praktik hemat semacam menjemur pakaian (ketimbang memanfaatkan mesin pengering yang boros listrik) atau mandi dengan gayung (ketimbang berendam di bath-up yang menghabiskan air) masih merupakan kelaziman. Lain kata, penduduk negeri ini memiliki keunggulan budaya sebagai prekondisi untuk bertransisi menuju era ekonomi hijau.
F.   Proses Kewirausahaan secara sustainability

Untuk memahami wirausaha dari aspek : pemikiran (Mindset), tindakan (Action) dan proses (Process). Seorang wirausaha memiliki mindset, action dan process tersendiri.

Dari aspek “Mindset” seorang wirausaha adalah seseorang yang pemikirannya ditujukan untuk mengidentifikasi peluang yang dapat diajadikan suatu usaha yang dapat menghasilkan laba untuk jangka waktu panjang. Peluang-peluang yang dipilih adalah peluang-peluang yang paling memungkinkan menghasilkan keunggulan kompetitif. Pemikirannya diisi dengan gagasan-gagasan yang bersifat inovatif serta keinginan untuk menghasilkan yang paling baik sehingga menciptakan manfaat kepada pembeli/customer dan juga untuk masyarakat, terutama kepada para pemegang kepentingan / Stake Holders. Lebih tinggi nilai/manfaat yang dihasilkan lebih tinggi pula imbalan finansial yang diharapkan.
Menurut Zimerer (1996) untuk mengembangkan keterampilan berfikir seseorang menggunakan otak sebelah kiri sedangkan untuk belajar mengembangkan keterampilan kreatif digunakan otak sebelah kanan. Zimerer mengemukakan beberapa kidah atau kebiasaan , kewirausahaan antara lain : Create, innovate, and activate (ciptakan, temukan, dan aktifkan)

Dari aspek tindakan/action : seorang wirausaha mengutamakan tindakan “Getting Things Done”. Setelah gagasan/peluang yang dianggap paling baik diidentifikasi, seorang wirausaha akan segera menyusun perangkan organisasi, memobilisasi input-input dan sumber-sumber yang diperlukan untuk mewujudkan usahanya. Tindakannya dibimbing mindset atau naluri kewirausahaan, mengacu kepada effectiveness, baru kemudian efisiensi.

Pengertian kewirausahaan mengandung makna sebagai proses yang bersifat dinamis dan berkelanjutan, merupakan proses kehidupan. Proses tersebut menyangkut :
• Pendirian perusahaan yang dimulai dari tahap inkubasi, start-up,   pengembangan, pertumbuhan dan ekspansi.
•    Proses pengembangan gagasan yang berkelanjutan.
•    Proses peningkatan effectiveness dan efficiency, terutama pemberdayaan sumber daya manusia.

Dan Aktivitas Rantai Nilai Inovasi yaitu  mencakup tiga aktivitas utama, penggalian ide dan konsep (idea generation),  pengembangan untuk mengubah ide dan konsep menjadi produk (idea conversion),  dan penyebaran ide, produk dipasar (idea diffusion ; spread of the idea).  Setiap aktivitas rantai nilai inovasi harus menciptakan nilai tambah. Dan keseimbangan kekuatan harus ada pada tiga aktivitas tersebut.

F.1 Penggalian Ide

Kegiatan rantai nilai inovasi yang pertama adalah penggalian ide. Pimpinan dan  manajer dalam organisasi innovator perlu mengajukan tiga pertanyaan berikut mendiagnosis kondisi rantai nilai inovasi  dalam organisasi,
(1)      Apakah orang-orang dalam unit kerja Anda menciptakan  ide-ide bagus
(2)     Apakah anda memperoleh ide-ide bagus dari luar perusahaan ?

Tiga indikator berikut ini menentukan tingkat keberhasilan perusahaan dalam rantai aktivitas penggalian ide tersebut
(1)      Jumlah ide berkualitas yang dihasilkan dari satu unit dalam organisasi
(2)     Jumlah ide berkualitas yang dihasilkan secara lintas unit dalam organisasi
(3)     Jumlah ide berkualitas yang dihasilkan atau yang berasal dari unit organisasi

F.2 Pengembangan Ide

Rantai kegiatan kedua adalah mengkonversi ide atau mengembangkan ide atau konsep menjadi produk (barang dan/atau jasa) yang bernilai tambah tinggi.
(1)      Apakah perusahaan anda termasuk perusahaan yang unggul dalam mengkonversi ide, unggul dalam mengembangkan ide yang ada menjadi produk, sistem atau proses produksi yang memberi nilai tambah bagi organisasi?
(2)     Apakah anda mampu dan dapat menyeleksi dan mendanai pengembangan ide-ide bagus ?
(3)     Apakah anda mampu dapat mengubah ide-ide bagus tersebut menjadi produk, bisnis dan praktik-praktik yang unggul dan  menguntungkan ?

F.3 Penyebaran Ide

Rantai  aktivitas ketiga adalah mendifusikan dan mengkomersialisasikan hasil rantai aktivitas kedua. Apakah perusahaan anda unggul dalam mendifusikan ide yang telah dikembangkan didalam perusahaan ? Apakah perusahaan anda hanya unggul dalam mengembangkan ide tetapi tidak dalam mendifusikan ide ; ide unggul dan konversi ide berhasil menjadi produk bagus namun penyebarannya gagal dipasar ? Apakah produk unggul dari perusahaan anda sudah menyebar namun tidak atau belum dilirik konsumen ?
Ada dua indikator yang perlu diperhatikan untuk memeriksa keberhasilan perusahaan pada kativitas rantai  nilai ketiga ini ;
(1)      Persentase penetrasi yang perusahaan inginkan dipasar yang ditargetkan
(2)     Waktu yang dibutuhkan hingga penyebaran produk merata dipasar distributor, dan konsumen yang ditargetkan.
Tools for Creating New Ideas  consist of Attribute Listing, Brainstorming, and Visioning, Alat untuk Menciptakan Ide Baru terdiri dari Atribut mendengarkan, Brainstorming, dan Visioning.

G.     Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan merupakan cara berpikir/mindset, tindakan dan proses, yang mengarah kepada pengidentifikasian peluang, mengorganisir dan mewujudkan peluang menjadi usaha yang mempunyai keunggulan kompetitif melalui suatu proses yang berkelanjutan dan dinamis, yang diawali dari penggalian ide dan konsep (idea generation),  pengembangan untuk mengubah ide dan konsep menjadi produk (idea conversion),  dan penyebaran ide, produk dipasar (idea diffusion ; spread of the idea).  Dan  aktivitas rantai nilai inovasi harus menciptakan nilai tambah.

Daftar Pustaka

1.           M, Havidz Aima, Prof, Dr. MS, Entrepreneurship and Inovation Management
2.  Barbara Vis, Politics of Risk-taking: Welfare State Reform in Advanced  Democracies, Amsterdam University Press, Amsterdam, 2010, hlm.100.
3.    David Stott dan Alexandra Felix, Principles of Administrative Law, Cavendish Publishing Limited, London, 1997, hlm. 28.
4.   Gosta Esping dan Andersen, “A Welfare State for the 21st Century Ageing Societies, Knowledge Based Economies, and the Sustainability of European Welfare States”, tanpa tahun, http://www.nnn.se/seminar/pdf/report.pdf, [22/08/2015], hlm. 30.
5.      Torben Iversen, Capitalism, Democracy, and Welfare, Cambridge University Press, New York, 2005, hlm.
6.     Lampiran UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, hlm. 36. Idem, hlm. 39-40.
7. Lukita Dinarsyah Tuwo (WakilMenteri PPN/Wakil Kepala Bappenas), “Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019”, Makalah, disampaikan dalam acara Penjaringan Aspirasi Masyarakat sebagai Masukan Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019 di Pontianak pada 20 Februari 2014, hlm. 5
8.         https://id.wikipedia.org/wiki/Program_Benteng
9.        Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta: LP3ES, 1991, hlm. 34.
10.     Thomas W. Zimmerer (dalam Suryana 2001:2) Kewirausahaan. Salemba Empat: Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar