QUIZ 5
Jelaskan
secara komprehensif tentang pentingnya "pemikiran kreatif dan tindakan
inovatif" untuk memulai, mengembangkan, dan keberlanjutan (sustainability)
bisnis.
Keyword : Pemikiran Kreatif, Tindakan Inovatif,
Melihat
pentingnya pemikiran kreatif dan tindakan inovatif untuk memulai, mengembangkan dan
keberlanjutan pikiran saya mengarah kepada KEWIRAUSAHAAN.
Dalam
konteks bisnis, kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses
sistematis penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan
peluang di pasar.
Kreativitas diartikan sebagai
kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara-cara baru
dalam memecahkan persoalan dan menghadapi peluang.
Sedangkan keinovasian diartikan sebagai
kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan
persoalan-persoalan dan peluang untuk mempertinggi dan meningkatkan taraf hidup.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang
sistematis untuk menerapkan sikap kreatif dan inovasi dalam mengembangkan
ide-ide baru guna menghadapi persaingan bisnis atau usaha.
Dari konsepsi di atas, kewirausahaan dicirikan oleh beberapa
karakteristik, yaitu Kreativitas, yaitu kemampuan mencipta
dan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan
peluang, Inovasi yaitu kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka pemecahan
masalah dan menemukan peluang, dan Mandiri, yaitu suatu sikap untuk tidak selalu
bergantung pada orang lain.
Dan untuk menjelaskan secara komprehensif
tentang pentingnya "pemikiran kreatif dan tindakan inovatif" untuk
memulai, mengembangkan, dan keberlanjutan (sustainability) bisnis, saya
jabarkan sebagai berikut :
A.
Latar Belakang
B.
Pokok Permasalahan
C.
Budaya Kewirausahaan di Luar Negeri
1)
Amerika Serikat
2)
Singapura
3)
Korea Selatan
D.
Praktek kewirausahaan di Indonesia
E.
Keunggulan yang di miliki Indonesia
1)
Keunggulan Komparatif Benua Maritim
2)
Keunggulan Kompetitif
3)
Keunggulan Lingkungan
4)
Keunggulan Budaya
F.
Proses Kewirausahaan secara
sustainability
1)
Penggali Ide
2)
Pengembangan Ide
3)
Penyebaran Ide
G.
Kesimpulan
A. Latar Belakang
Membangun
dan mendorong kewirausahaan adalah salah satu jalan strategis membangun masyarakat
yang maju dan berdikari. Keberadaan kewirausahaan yang besar, sehat, dan berkembang
bisa menjadi solusi riil dalam hal penciptaan lapangan kerja. Hal ini juga
menjadi salah satu terobosan yang signifikan dalam mengantisipasi terjadinya
pertumbuhan penduduk yang semakin pesat yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan
jumlah lapangan kerja.
Data
BPS Februari 2015 mencatat bahwa Angkatan kerja Indonesia pada Februari 2015 sebanyak
128,3 juta orang, bertambah sebanyak 6,4 juta orang dibandingkan Agustus 2014
atau bertambah 3 juta orang dibanding Februari 2014. Tingkat Pengangguran
Terbuka Februari 2015 sebesar 5,81%, meningkat dibandingkan TPT Februari 2014
sebesar 5,70%. Ini berarti, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, maka
potensi TPT akan semakin meningkat jika tidak diimbangi dengan penyediaan
lapangan pekerjaan.
Data
Bappenas menyebutkan bahwa proyeksi penduduk Indonesia sampai tahun 2035 diperkirakan
mencapai 305,652,400 juta jiwa12. Jika tidak ada terobosan kebijakan yang signifikan,
bisa dibayangkan TPT akan semakin meningkat, dan akan berimplikasi pada
berbagai masalah sosial. Oleh karena itu, kewirausahaan nasional perlu menjadi
kebijakan strategis.
Tantangan
lain yang juga perlu diantisipasi ialah pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN
tahun ini. Penguatan dan peningkatan
kapasitas SDM pelaku wirausaha menjadi pekerjaan serius yang harus menjadi
prioritas untuk bisa bersaing secara terbuka. Oleh karenanya, perlu ada
kebijakan dan regulasi yang mampu memperkuat dan memberdayakan wirausaha
Indonesia. Dengan semakin tumbuhnya wirausaha di Indonesia akan berkontribusi pula
terhadap peningkatan pemasukan sektor pajak bagi Negara. Lebih dari itu, tumbuhnya
dunia kewirausahaan akan menjadi penopang sekaligus ujung tombak pembangunan
ekonomi nasional. Dari identifikasi beberapa persoalan di atas dan berbagai tantangan
ke depan yang semakin komplek dan kompetitif, diperlukan sebuah terobosan
kebijakan menyangkut upaya mengubah mindset atau paradigma berfikir tentang
kewirausahaan nasional. Hal ini sekaligus menggambarkan regulasi yang ada belum
mampu memberikan dukungan secara optimal kegiatan pengembangan kewirausahaan
nasional. Oleh karena itu diperlukan sebuah regulasi kebijakan yang mengatur
secara sistematis, komprehensif, dan massif kewirausahaan nasional. Faktor edukasi
menjadi elemen yang sangat penting dalam rangka mengubah paradigma (cara
pandang) masyarakat terhadap kewirausahaan nasional. Dalam edukasi, sistem
kurikulum kewirausahaan yang terpadu menjadi unsur penting sebagai salah satu
upaya membentuk generasi yang berjiwa entrepreneurship. Dalam menghadapi
persaingan di dunia internasional yang semakin kompetitif, diperlukan model
pengembangan kapasitas SDM wirausaha untuk menghasilkan wirausaha yang tangguh.
Menurut
Indarti & Kristiansen14, intensi wirausaha seseorang terbentuk melalui tiga
tahap :
·
yaitu motivasi (motivation),
·
kepercayaan diri (belief) serta
ketrampilan dan
·
kompetensi (Skill & Competence).
Setiap individu mempunyai keinginan (motivasi) untuk sukses. Individu yang memiliki
need for achievement yang tinggi akan mempunyai usaha yang lebih untuk mewujudkan
apa yang diinginkannya. Kebutuhan akan pencapaian membentuk kepercayaan diri (belief)
dan pengendalian diri yang tinggi (locus of control). Pengendalian diri yang
tinggi terhadap lingkungan memberikan individu keberanian dalam mengambil
keputusan dan risiko yang ada.
Untuk
mengoptimalkan fungsi kewirausahaan sebagai pilar yang kokoh dalam perekonomian
Indonesia, diperlukan langkah-langkah untuk mengembangkan paradigma baru dalam
pembangunan kewirausahaan. Pembudayaan kewirausahaan sebagai gerakan ekonomi
rakyat harus didukung oleh politik hukum pemerintah, baik pemerintah pusat, maupun
pemerintah daerah, untuk menyusun rencana strategis dalam menggagas
kewirausahaan dan kemitraan berdasarkan manajemen integratif. Dalam pembangunan
kewirausahaan, Indonesia memiliki modal dasar untuk mengembangkan kewirausahaan
sebagai pondasi ekonomi sejalan dengan Visi Pembangunan Nasional Tahun
2005-2025 yaitu: “Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”5 Visi
pembangunan nasional tahun 2005–2025 itu mengarah pada pencapaian tujuan nasional,
seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Dalam
mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi
pembangunan nasional sebagai berikut:
(1)
Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila;
(2)
Mewujudkan bangsa yang
berdaya-saing;
(3)
Mewujudkan masyarakat demokratis
berlandaskan hukum;
(4)
Mewujudkan Indonesia aman, damai,
dan bersatu;
(5)
Mewujudkan pemerataan pembangunan
dan berkeadilan;
(6)
Mewujudkan Indonesia asri dan
lestari;
(7)
Mewujudkan Indonesia menjadi negara
kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional;
(8)
Mewujudkan Indonesia berperan
penting dalam pergaulan dunia internasional6
Pentahapan
pembangunan RPJPN 2005-2025 meliputi:
(1)
RPJM 1 (2005-2009) Menata kembali
NKRI, membangun Indonesia yang aman, damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat
kesejahteraan yang lebih baik;
(2)
(2) RPJM 2 (2010-2014) Memantapkan
penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan IPTEK,
memperkuat daya saing perekonomian;
(3)
RPJM 3 (2015-2019) Memantapkan
pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan
kompetiutif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas,
serta kemampuan IPTEK;
(4)
RPJM 4 (2020-2025) Mewujudkan
masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan
di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan
keunggulan kompetitif
kewirausahaan
berperan strategis untuk menurunkan kemiskinan dengan menciptakan
peluang-peluang kerja yang diinisiasi masyarakat berdasarkan potensi dan
keunggulannya masing-masing. Salah satu agenda untuk mengurangi pengangguran
dan mengentaskan kemiskinan adalah melalui pengembangan kewirausahaan.
Pengembangan kewirausahaan berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan
pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan sebagaimana tergambar dalam visi
dan misi pemerintah di atas. Kewirausahaan didorong untuk berkembang luas
sesuai kebutuhan sehingga menjadi wahana yang efektif untuk meningkatkan posisi
tawar dan efisiensi kolektif masyarakat di berbagai sektor kegiatan ekonomi
sehingga menjadi gerakan ekonomi yang berperan nyata dalam upaya peningkatan kesejahteraan
sosial dan ekonomi masyarakat. Sementara itu, pemberdayaan usaha mikro menjadi
pilihan strategis untuk meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat
berpendapatan rendah dalam rangka mengurangi kesenjangan pendapatan dan
kemiskinan melalui peningkatan kapasitas usaha dan ketrampilan pengelolaan
usaha serta sekaligus mendorong adanya kepastian, perlindungan, dan pembinaan
usaha. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, diperlukan revitalisasi fungsi
kewirausahaan yang didasarkan pada manajemen sumber daya berbasis masyarakat
dengan melibatkan peran pemerintah dan masyarakat secara partisipatif.
Terkait
dengan kebijakan di bidang kewirausahaan nasional, di tahun 1950, Pemerintah RI
pernah mengeluarkan sebuah kebijakan ekonomi yang bernama Program Ekonomi
Gerakan Benteng. Penggagas Program ini adalah Prof. Soemitro Djoyohadikusumo.
Gagasan utama program ini bertujuan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
struktur ekonomi nasional. Pemerintah menginginkan struktur ekonomi bangsa
Indonesia harus lebih mandiri dan mengedapankan kepentingan nasional. Di
samping itu, program ini juga bertujuan menumbuhkan kelas wirausaha pribumi
sebagai elemen penting dalam membentuk struktur ekonomi nasional tersebut.
Strategi untuk mencapai tujuan tersebut ialah dengan memberikan bantuan kredit
dan fasilitas lainnya yang memudahkan bagi wirausaha pribumi untuk tumbuh dan
berkembang
Akan
tetapi, kebijakan tersebut mengalami kegagalan. Program Ekonomi Gerakan Benteng
tersebut tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Wirausaha pribumi yang
mendapatkan fasilitas kredit dari Pemerintah justru menyalahgunakan maksud baik
pemerintah dengan mengalihkan fasilitas tersebut kepada kelompok pengusaha
lain. Para wirausaha pribumi lebih memilih untuk menikmati fee keuntungan dari
fasilitas yang digunakan pihak lain.
Studi
literatur yang menyorot faktor kegagalan kebijakan ini dipotret dalam buku yang
berjudul Bisnis dan Politik yang ditulis oleh Yahya A. Muhaimin Salah satu
aspek yang disorot dalam buku ini ialah tidak adanya instrumen kebijakan yang
memperkuat kapasitas wirausaha pribumi dan masih dominannya sikap dan mental
pribumi yang cenderung hanya ingin mengambil keuntungan tanpa harus bekerja
keras. Sehingga, wirausaha pribumi tidak mampu bersaing dengan kelompok
wirausaha lain. Aspek mental dan kapasitas pengusaha pribumi inilah yang dapat
dianggap menjadi dua penyebab kegagalan program Ekonomi Gerakan Benteng.
B. Pokok
Permasalahan
Setidaknya,
ada tiga fakta menyangkut potret dunia kewirausahaan di Indonesia.
1)
Jumlah wirausaha di Indonesia jauh
tertinggal dibandingan dengan Negara-negara tetangga, seperti Malaysia,
Thailand, dan Singapura yang sudah mencapai di atas 4%. Jika dibuat prosentase
dari jumlah populasi kita yang mencapai 240 juta, maka wirausaha kita baru
mencapai 1,65%. Padahal, kemajuan suatu Negara akan terwujud jika Negara
tersebut memiliki minimum 2% wirausaha dari total penduduknya.
2)
menurut The Global Entrepreneurship
And Development Index 2014, dalam hal kesehatan ekosistem kewirausahaan,
Indonesia masih menempati peringkat ke-68 dari 121 negara di dunia.
3)
berdasarkan The Earns and Young G20
Entrepreneurship Barometer 2013, peringkat Indonesia menempati ranking terendah
di antara Negara-negara G-2013.
Tiga
fakta tersebut merupakan cerminan dari berbagai masalah yang masih menggelayuti
dunia kewirausahaan nasional.
1)
persoalan mindset (cara berfikir)
sebagian masyarakat Indonesia yang masih berfikir mendapatkan pekerjaan setelah
selesai sekolah/kuliah. Masyarakat juga masih memandang kewirausahaan sebatas usaha
dagang atau bisnis semata. Padahal, wirausaha, seperti disampaikan di atas,
adalah individu yang memiliki kemampuan berfikir kreatif dan bertindak inovatif
dalam mencari peluang dan terobosan baru sehingga menghasilkan gagasan dan
produk yang berpotensi ekonomi tinggi.
2)
persoalan kapasitas Sumber Daya
Manusia pelaku wirausaha yang masih rendah. Hal itu tercermin dari kurangnya
kemampuan manajerial dalam menjalankan strategi usahanya. Kurangnya pemahaman
bidang usaha yang akan digelutinya juga menunjukkan masih rendahnya kapasitas
SDM wirausaha tanah air. Di samping itu, ketidakmampuan mengelola administrasi dan
keuangan masih melekat dalam praktek wirausaha di Indonesia. Apalagi,
perkembangan iptek berbasis internet memerlukan kemampuan pelaku wirausaha yang
tertarik menggeluti usaha bisnis online.
3)
persoalan regulasi. Berkembangnya
usaha bisnis online yang tidak hanya meliputi wilayah domestik, tetapi juga
lintas Negara, membutuhkan regulasi yang mampu mengantisipasi berbagai
persoalan yang berpotensi menghambat dunia wirausaha.
4)
akses permodalan bagi wirausaha
pemula yang masih menemui banyak kendala. Skema permodalan menyangkut berbagai
syarat yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha, termasuk kapasitas,
karakter, dan jaminan yang belum sepenuhnya bisa dipenuhi oleh para pelaku
wirausaha pemula. Regulasi yang berpihak pada pelaku wirausaha pemula, mungkin
perlu menjadi isu yang harus dituntaskan.
4)
C. Budaya
Kewirausahaan di Luar Negeri
Dengan
adanya berbagai masalah yang masih menggelayuti dunia kewirausahaan nasional,
maka kita perlu menengok budaya kewirausahaan di beberapa Negara antara lain :
1.
Amerika Serikat
Di
negara maju seperti Amerika Serikat (AS), kewirausahaan (entrepreneurship)
merupakan salah satu pilar paling fundamental budaya AS. Elemen yang tak kalah
penting adalah ‘can-do spirit’ atau sikap positif tentang kemampuan diri. Baik
entrepreneurship maupun can-do-spirit merupakan buah dari frontier culture,
yakni aspek unik masyarakat AS yang merefleksikan sebuah obsesi untuk mencapai
batas-batas terjauh dari kemampuan manusia. Frontier culture, yang berakar dari
nilai-nilai individualisme itu, secara karakteristik berasosiasi kuat dengan
dorongan untuk terus menerus melakukan perbaikan diri (self-improvement). Nilai
nilai
ini
menjadi pondasi, bahkan prasyarat, bagi tumbuh kembangnya inovasi dan
innovation culture di AS. Semangat self-improvement secara esensial mendorong
masyarakat AS terus ‘memberontak’ mencipta untuk mencapai titik terjauh
(frontier). Nilai-nilai ini juga sekaligus menjadi pondasi bagi semangat
kewirausahaan (entrepreneurship). Frontier culture mengapresiasi, sekaligus
memberi masyarakat AS, kepercayaan atas kemampuan diri sendiri; yang pada
tingkatan lebih tinggi, berasosiasi dengan kecenderungan politik (political
tendency) masyarakat AS untuk percaya pada ‘keperkasaan pasar’. Masyarakat AS
dikenal memiliki sikap yang sangat toleran terhadap kesalahan berbisnis
(business failure). Di klaster IT Silicon Valley ada sebuah lelucon: kekeliruan
dalam menerapkan resep bisnis (teknik pemasaran, misalnya) sangat diharapkan,
bahkan ditunggu-tunggu kedatangannya. Penerimaan yang luas terhadap business
failure ini turut mendorong budaya risktaking di AS. Sementara di Indonesia,
atmosfer yang dikembangkan selama beberapa decade (terutama di sektor
pendidikan dan parenting) justru kurang mendorong semangat bereksperimen dan
sikap tidak takut salah. Ini misalnya tampak dari kecenderungan pengusaha
Indonesia untuk membeli teknologi lisensi asing dalam proses produksi daripada
repot-repot berinvestasi mengambil resiko di litbang teknologi guna menciptakan
terobosan.
Secara umum budaya wirausaha amerika memiliki karakteristik
sebagai berikut :
1.
Masyarakat yang berorientasi pada
peluang yang mentolerir kegagalan
2.
Lebih menghargai kesuksesan individu
3.
Penggunaan pilihan saham didorong
oleh kebijakan pajak
4.
Kewirausahaan didorong secara
akademis melalui program yang nyata
5. Kurikulum SMP dan SMA yang menekankan aktivitas
pembelajaran grup dan pengerjaan proyek kewirausahaan
2.
Singapura
Penciptaan
talenta lokal dilakukan dengan menjadikan negeri ini sebagai hub bagi lembaga
pendidikan terbaik di dunia serta markas perusahaan-perusahaan multinasional.
Tak keliru, Singapura merupakan negara yang secara fenomenal berhasil menarik
talenta terbaik dari mancanegara untuk mendongkrak kapasitas talenta dalam
negeri. Peningkatan kapasitas teknologi negeri ini juga disandarkan pada
kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional ini yang membuat Singapura
berbeda. Artinya, daripada mengembangkan litbang indigenous, Singapura lebih
suka menunggu limpahan knowledge dan transfer teknologi. Teknologi dari
perusahaan-perusahaan multinasional ini diadopsi, diasimilasi dan didifusikan
melalui pembentukan perusahaan high-tech lokal.
Guna
merangkul perusahaan multinasional agar menambatkan aktivitas litbangnya di
Singapura, pemerintah membangun sejumlah institusi pendukung terutama di bidang
teknologi informasi, mikroelektronika, dan life science. National Scienceand
Technology Board (NSTB) dibangun untuk membantu mengkoordinasi sektor litbang
swasta agar mau membangun infrastruktur pendukung litbang.
Laboratorium-laboratorium pemerintah juga menyediakan
layanan
kepada perusahaan-perusahaan multinasional agar tetap berada di Singapura.
Riset-riset aplikatif diprioritaskan. Sementara riset-riset dasar yang
sekaligus ditujukan untuk mengembangkan talenta lokal digiatkan melalui kerja
sama dengan perusahaan asing termasuk tawaran banyak beasiswa post-graduate
dari pemerintah Singapura bagi peneliti-peneliti asing terbaik.
Secara umum karakteristik budaya kewirausahaan di singapura
dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Mengubah kebijakan yang sebelumnya
kaku, rezim berorientasi pada peraturan menjadi mendorong inovasi dan
kewirausahaan
2.
Dewan Pengembangan Ekonomi Singapura
memberikan penghargaan Phoenix Award bagi wirausahawan yang gagal lalu bangkit
lagi dengan mendirikan start up baru
3.
Kursus kewirausahaan bagi pelajar
SMP sejak usia 13 tahun
3.
Korea Selatan
Penciptaan
talenta di Korea Selatan merupakan bagian inheren dari penguatan Sinas di
negara tersebut, yang menjadi pemicu pesatnya pertumbuhan output terkait
inovasi dan pada gilirannya berimplikasi terhadap pesatnya pertumbuhan ekonomi.
Beberapa
faktor berkenaan dengan Sinas (Sistem Inovasi Nasional) Korea Selatan yang
mendorong munculnya output terkait inovasi seperti karya ilmiah, paten, proses
dan produk baru, adalah:
1.
Aktivitas litbang di dalam sektor
bisnis.
2.
Sektor riset di dalam pemerintahan
dan publik.
3.
Sistem pendidikan tinggi dan
universitas.
4.
Interaksi ketiga sektor di atas yang
dapat dikategorikan di dalam aliran modal, sumber daya manusia, dan knowledge.
Penguatan
Sinas Korea Selatan sekaligus berarti penyediaan infrastruktur iptek yang memadai,
seperti infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi, di mana pada
tahun 2004 Korea Selatan menempati peringkat pertama di dunia. “Miracle from
Han River” sebutan untuk keajaiban pertumbuhan ekonomi Korsel salah satunya bertumpu
pada perbaikan ekosistem inovasi.
Secara umum karakteristik budaya kewirausahaan di korea selatan
adalah sebagai berikut :
1.
Deregulasi ekonomi dan arus perusahaan
asing mengubah perilaku bisnis
2.
Ajaran Konfusius yang mengajarkan
tidak mengkomersialkan berubah dengan industrialisasi cepat dan komersialisasi
3.
Uang menjadi ukuran kesuksesan
pribadi sementara figur sebagai pengusaha dulu dianggap remeh
4.
Krisis ekonomi tahun 1997
menghasilkan restrukstrurisasi sistem korporasi pemerintah, salah satunya nilai
kebebasan individu, menghasilkan UKM start up
5.
Para wanita Korea berpartisipasi
dalam bisnis dan tingkat pendidikannya sama dengan pria
D.
Praktek kewirausahaan di Indonesia
Seperti
juga negara-negara new emerging economies di Asia, Indonesia akan mengadopsi
‘jalan Silicon Valley’-nya Amerika Serikat dengan mendirikan innovation park
pertama, “Bandung Raya Innovation Valley (BRIV)”. Inilah konsep percepatan
pertumbuhan ekonomi berbasis-inovasi melalui intensifikasi program-program
inkubasi bisnis dalam taman-taman iptek (science and technology park, S&T
park). Di wahana taman iptek inilah talenta-talenta baru diciptakan. Lebih dari
itu, konsep ‘inkubasi bisnis dalam-taman iptek’ bukan ditujukan sekadar untuk
memproduksi karya ilmiah sebanyak banyaknya, namun dimaksudkan guna mendorong
riset-riset yang dilakukan agar berorientasi pada kebutuhan pasar (market
demand) untuk kemudian menghubungkannya dengan pihak industri yang dikawal oleh
regulasi pemerintah yang mendukung. Sinergi antara pelaku utama inovasi,
investor dan pemerintah ini diharapkan menstimulasi munculnya start-up bisnis
berbasis inovasi teknologi yang pada gilirannya mendorong tumbuhnya sebuah
koridor industri berbasis teknologi tinggi pertama di Indonesia.
Pada tahap awal, kegiatan BRIV akan difokuskan
pada bidang ICT, transportasi, energi dan bio science. Jika Malaysia terkenal
dengan Multimedia Superhighway Corridor (MSC), BRIV telah memiliki koridor
industri sesungguhnya, yang berkembang secara alami. Koridor industri ini
meliputi area Jakarta-Cikampek-Cilegon-Bandung, yang jika dioptimalkan maka
tentu saja akan lebih besar dari MSC. Jakarta dalam koridor ini berperan
sebagai pusat bisnis; sementara korido Jakarta-Cilegon dan Jakarta-Cikampek
adalah lokasi industri manufaktur yang telah establishe dan strategis,
mengingat kedekatan dengan pelabuhan internasional (untuk keperluan pengiriman
komponen dan produk jadi). Di Cilegon terdapat Krakatau Steel, di Cikampek
terdapat Sony, Epson, Pirelli dan lain-lain. Sementara Bandung akan menjadi
jangkar kegiatan litbang: terdapat lusinan institusi akademik papan atas dan
SDM level internasional di kota ini. Sebut saja Institut Teknologi Bandung,
yang akan berperan sebagai institusi penyumbang SDM utama dan aktor utama dalam
BRIV; STT Telkom, Unpad, Unpar, Politeknik ITB, dan lain-lain. Ini belum
termasuk sejumlah BUMN strategis di bidang ICT dan transportasi, seperti PT.
Inti, PT. LEN, PT. Pindad dan PT. DI. Di tingkat akar rumput Bandung memiliki
120-an UKM berbasis high-tech yang akan menjadi penopang klaster industri ini
sekaligus menunjukkan kesiapan BRIV berkembang menjadi industri global semacam
Bangalore di India. Keberadaan UKM-UKM ini penting untuk menghindarkan foot-loose
industry. BRIV tidak ditujukan untuk menciptakan koridor industry eksportir
seperti sudah dilakukan di Cikampek-Cilegon dan Batam yang tidak berorientasi
innovation enhancement. BRIV menginginkan terjadinya aliran knowledge dan SDM
dari perguruan tinggi ke industri, seperti Stanford University ke Silicon
Valley, AS. Lebih luas, BRIV merupakan realisasi dari strategi percepatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia berbasis penciptaan klaster inovasi, sebagaimana
tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Terdapat enam koridor klaster inovasi, dengan kekhasan dan
kekhususan peran masing-masing, yang terkonsentrasi di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku. BRIV berada di koridor
Jawa sebagai bagian dari koridor “pendorong industri dan jasa nasional”.
(
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, (2011:41)
Perbaikan
ekosistem inovasi di Indonesia karenanya harus, bahkan hanya dapat, diawali
dengan alokasi dana litbang yang memadai. Pendanaan litbang tidak saja akan
mengandalkan suntikan dana pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
tetapi harus pula melibatkan perusahaan swasta secara progresif. Untuk
mendapatkan skema pendanaan berupa venture capital, angel capital dan corporate
social responsibility diperlukan tawaran proposal yang
sangat
baik dan kompetitif serta memenuhi berbagai kriteria dari penyedia dana. Ini
merupakan tantangan bagi para aktor inovasi dari berbagai kalangan baik bagi
akademisi dan peneliti, maupun bagi pelaku usaha dan industri. Sebagaimana juga
yang terjadi di negara-negara advanced economy, porsi pembiayaan litbang
pemerintah bakal kian kecil dari waktu ke waktu. Persentase terbesar kelak akan
dipegang swasta dibandingkan dengan porsi pemerintah dan BUMN.
Survei
global dari World Intellectual Property Organization (WIPO) memasukkanc
Indonesia sebagai negara paling malas mencipta (inventing). Ini tercermin dari
kecilnya angka registrasi paten. Pada 2009 temuan made in Indonesia yang dipatenkan
hanya berjumlah enam buah, atau tertinggal beribu-ribu kali lipat dibanding
Jepang (224.795 paten) dan AS (135.193 paten), menempatkan peringkat paten
Indonesia yang terendah di antara negara-negara G-20. Ketersediaan sumber daya
alam (SDA) yang melimpah, pada kadar tertentu, merupakan salah satu faktor yang
membuat manusia Indonesia lebih suka menjual apa yang dimiliki (pedagang)
ketimbang mencipta apa yang tidak dimiliki
(inventor). Sikap anti-perubahan, tertutup, dan kecenderungan untuk ‘bermain
aman’ yang telah terlembagakan berpuluh-puluh tahun ini berkontribusi terhadap
turunnya semangat berwirausaha (entrepreneurship), sebuah pilihan yang menuntut
kreativitas dan keberanian mengambil risiko.
Pendekatan
Triple Helix tatkala diterapkan di negara yang belum mengagungkan inovasi,
semacam Indonesia, akan lebih sulit bekerja. Setidaknya beban pemerintah selaku
regulator dan fasilitator akan menjadi lebih besar. Oleh karena itu, secara
simultan, diperlukan upaya keras penciptaan budaya inovasi yang bukan saja
harus didorong oleh pemerintah, tetapi oleh elemen masyarakat itu sendiri
(bottom-up).
Buruknya
ekosistem inovasi di Indonesia dibenarkan oleh World Intellectual Property
Organization (WIPO), badan PBB untuk hak kekayaan intelektual yang merilis
Global Innovation Index (GII) setiap tahun. Survei WIPO tiga tahun terakhir
bahkan menunjukkan kian tidak kondusifnya iklim berinovasi di Indonesia. Berada
di urutan ke-49 peringkat GII pada 2009, Indonesia terus turun posisinya ke
peringkat 72 (tahun 2010) dan belakangan urutan ke- 100 (tahun 2012), di bawah
negara Afrika seperti Ghana dan Senegal. GII menjadi ukuran unjuk kerja (eko)
sistem inovasi sebuah negara.
Survei
GII disandarkan pada tujuh pilar sebagai pisau analisisnya. Lima pilar pertama
merepresentasikan elemen-elemen perekonomian sebuah negara yang memungkinkan
bias tidaknya inovasi terjadi, yakni:
1.
Institusi (lingkungan politik, regulasi, dan bisnis),
2.
SDM dan riset (pendidikan, pendidikan tinggi, dan litbang),
3.
Infrastruktur (TIK, infrastruktur umum, dan kesinambungan ekologis),
4.
Pemutakhiran pasar (pemberian kredit, investasi,serta kompetisi dan
perdagangan),
4.
Pemutakhiran bisnis (pekerja
berpengetahuan, jejaring inovasi dan penyerapan pengetahuan).
Hingga
kini jumlah technopreneur wirusahawan berbasis inovasi teknologi di Indonesia
sangatlah kecil: baru 0,24 persen dari jumlah total pengusaha di negeri ini,
atau kurang dari 100 ribu orang. Padahal kecilnya jumlah dan kontribusi
technopreneur, yang lazimnya tergabung ke dalam format usaha kecil menengah
(UKM) itu, berdampak langsung terhadap rendahnya produktivitas dan ketahanan
ekonomi nasional.
Penciptaan
technopreneurs karenanya amat vital, dan ini dapat dilakukan melalui pusatpusat
inovasi. Pusat inovasi termasuk di dalamnya adalah inkubator bisnis.
Dalam
hal ini pusat inovasi dapat menjalankan berbagai peran strategis, antara lain:
1.
Fungsi intermediasi, yakni untuk
membangun jalinan kemitraan antara
inventor, pemerintah dan industri, memberikan akses pasar,
2. Fungsi
promosi produk dan pendanaan bagi inventor; serta
3. Fungsi
konsultansi bisnis yakni dengan memberikan bantuan teknis seperti pembuatan
businessplan.
Meski
perannya sangat penting, inkubator bisnis di Indonesia kurang berkembang selama
kurun waktu 20 tahun. Hingga kini baru terdapat sekitar 50 inkubator bisnis
yang umumnya dikembangkan oleh perguruan tinggi dan litbang yasa pemerintah.
Guna memperbaiki kondisi kurangnya technopreneur tersebut, upaya perbaikan yang
dapat dilakukan, antara lain:
1.
Membangun dan meningkatkan jumlah
pusat inkubasi dan inovasi teknologi sebagai upaya penciptaan kemampuan techno
preneurship.
2.
Mendorong perguruan tinggi agar
lebih capable dalam menilai risiko,
3.
Melakukan survei pasar, terkait hasil-hasil
invensi masyarakat yang lahir dari incubator teknologi.
4.
Memfokuskan terhadap pendanaan
aktivitas inkubasi teknologi yang berorientasi pada hibah sesuai arah riset
strategis nasional.
5.
Menciptakan pemberian fasilitas
kredit untuk UKM. Terkait hal ini, perlu difasilitasi skema
modal
ventura (venture capital) untuk menjembatani hasil invensi sebelum menjadi
inovasi yang dapat difasilitasi lewat bank.
Indonesia
memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk mencapai target PDB 3,7 triliun dolar
AS pada tahun 2025, atau 4 hingga 5 kali lipat PDB saat ini, sebagaimana
tercantum dalam “Visi Indonesia 2025”. Hanya dengan penciptaan ‘mesin-mesin
pertumbuhan baru’ khususnya di daerah, maka mimpi itu dapat tercapai. Salah
satu strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah adalah membangun
pusat-pusat inovasi, yang diistilahkan sebagai ‘klaster inovasi daerah’, guna
mengembangkan produk-produk unggulan daerah berbasis teknologi. Ini merupakan
upaya strategis untuk mengoptimalkan potensi-potensi unggulan yang ada di
daerah
tertentu (sebagai contoh, Kalimantan dengan
potensi energi yang besar; atau Papua-Maluku dengan sumber daya pangan dan
perikanan), di mana pusat-pusat inovasi daerah ini akan berperan sebagai mesin
pemberi nilai tambah melalui suntikan teknologi supaya produk-produk tersebut
memiliki nilai ekonomi tinggi, bukan menjualnya sebagai bahan mentah.
Pusat-pusat
inovasi
keunggulan di daerah ini akan dibangun, salah satunya, melalui pendirian
perguruan tinggi yang memiliki kompetensi selaras dengan sumber daya di daerah
atau memperkuat peran universitas yang ada. Lebih jauh ‘klaster inovasi’ ini
akan menjadi wahana strategis untuk menghasilkan SDM yang bermutu dan
kompetitif serta menciptakan kemitraan antara pihak akademik dan industri
dengan kata lain, turut memperbaiki ekosistem inovasi di daerah.
Upaya
menuju penciptaan klaster-klaster inovasi daerah ini dapat dilakukan antara
lain dengan, pertama-tama, mengidentifikasi, memetakan, dan membangun database
potensi-potensi daerah termasuk potensi industri kreatif dan industri strategis
yang dapat dikembangkan menjadi keunggulan komparatif daerah. Termasuk juga
mengidentifikasi dan merevitalisasi sumber daya iptek (SDM, lembaga pendidikan
tinggi atau lembaga riset, fasilitas riset, infrastruktur) guna mengembangkan
potensi daerah secara optimal. Upaya lainnya adalah mendorong setiap pemerintah
daerah melakukan penataaan ekosistem inovasi untuk menciptakan suasana kondusif
bagi para investor mulai dari sistem insentif, regulasi, kemudahan izin, sistem
pelayanan, dan faktor terkait lainnya untuk membawa investasi dan foreign
direct investment (FDI) ke daerah- daerah.
Model
‘inovasi hemat’ (Frugal innovation) lahir sebagai adaptasi terhadap sedikitnya sumber
daya (resource constraints) di satu sisi, berkombinasi dengan besarnya
kebutuhan (needs) dan rendahnya daya beli masyarakat di sisi yang lain. Ini
memaksa produk baik disain,
proses,
maupun rantai produksinya dibuat se-efisien mungkin ke level kebutuhan dasar
(basic needs), yang pada gilirannya menuntut perubahan kelembagaan inovasi ke
arah yang lebih terfragmentasi dan open-minded.
Indonesia
memiliki sejumlah kriteria untuk terjun ke model inovasi baru ini:
1.
Orang-orang kreatif dan cerdas,
2.
Sumber daya terbatas terkait infrastruktur iptek, serta
3.
Pasar domestik yang besar, khususnya pasar menengah ke bawah yang belum
terakomodasi (unserved market).
E. Keunggulan yang
di miliki Indonesia
Dengan
setumpuk permasalahan dan praktek kewirausahaan di Indonesia yang jauh dari
perkembangan praktek kewirausahaan di beberapa Negara tetapi Indonesia memiliki
4 (empat) keunggulan, yaitu :
1.
Keunggulan Komparatif
Benua Maritim
Ditaburi
17.508 pulau dan diliputi 70 persen laut (sebagian besar merupakan perairan
dangkal), menjadikan Indonesia sebuah benua maritim (maritime continent),
satu-satunya di dunia. Tak satu negara pun mampu menandingi Indonesia dalam hal
biodiversity, energy diversity dan kekhasan benua lautnya. Tidak Brasil, tidak
pula Amerika Serikat (sebagai benua non-kepulauan), apalagi Singapura dan
Jepang (yang miskin sumber daya alam). Inilah keunggulan komparatif Indonesia
yang sangat menonjol sebagai modal besar untuk bersaing di era ekonomi hijau.
Namun
sebagian besar kekayaan mentah ini belum dieksplorasi, dieksploitasi dan diberi
suntikan inovasi supaya menjadi produk-produk bernilai tambah tinggi. Andai
dapat diolah secara cerdas, produk-produk tersebut nantinya dapat langsung
dilempar ke pasar domestik guna memenuhi kebutuhan 234 juta penduduk pasar yang
sangat besar. McKinsey Global Institute (2012) memprediksi bakal meroketnya
jumlah masyarakat berdaya beli tinggi (consuming class) di Indonesia pada tahun
2030 tiga kali lipat dari saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa di masa
mendatang pasar domestik negeri ini bukan saja kian besar, tetapi juga kian
agresif, yang siap menyerap produk-produk bernilai tambah tinggi hasil karya
tangan anak-anak negeri: “dari kita, untuk kita”. Besarnya pasar domestik juga
merupakan keunggulan komparatif lain negeri ini; satu hal yang tak dimiliki
Singapura misalnya.
2.
Keunggulan Kompetitif
Berkah
kekayaan natural resources yang dimiliki negeri ini, andai diolah melalui
campur tangan teknologi, berpotensi membawa Indonesia sebagai pemimpin global
di sejumlah sector ekonomi hijau. Negeri ini adalah produsen crude palm oil
(CPO) terbesar di dunia, kondisi yang membuka peluang bagi litbang, produksi,
dan pemanfaatan secara massal bahan bakar nabati berbasis CPO seperti halnya
Brasil dengan etanol. Area ceruk ini kian menjanjikan mengingat harga biofuel
yang terus turun di tengah trend kenaikan harga bahan bakar fosil, yang
memberikan kita kelak keunggulan kompetitif harga (cost competitiveness).
Ketika cost competitiveness ini berkombinasi dengan besarnya pasokan bahan baku
CPO, bukannya tidak mungkin Indonesia
menjadi ekonomi biofuel paling kompetitif dan berpengaruh di dunia, menyaingi
Brasil.
Indonesia
juga memiliki keunggulan kompetitif terkait kapasitas inovasi. The Global
Competitiveness Report merilis, indeks kapasitas inovasi Indonesia dalam Global
Innovation Index adalah 31.8 (peringkat 87 dari 143 negara) yang berada di atas
India mencerminkan kualitas sumber daya manusia negeri ini terkait kemampuan
untuk menciptakan inovasi-inovasi (meski potensi ini belum teroptimalkan
sepenuhnya menyusul belum mapannya ekosistem inovasi). Indikator inovasi
Indonesia juga berada pada posisi lumayan: peringkat ke-36 dari 139 negara yang
dinilai oleh World Economic Forum (WEF). Terkait peringkat daya saing, laporan
WEF juga memberi angin segar: pada tahun 2015 posisi Indonesia secara
keseluruhan berada di
peringkat
46 Global Competitiveness Index, bergeser cukup signifikan dari peringkat ke-54
pada tahun 2009.
3.
Keunggulan Lingkungan
Aksi
global melawan climate change tidak bisa tidak melibatkan Indonesia sebagai
pusat iklim dunia. Sebagai satu-satunya benua maritim di muka Bumi, dinamika
perubahan iklim di kawasan Indonesia akan berpengaruh terhadap dinamika iklim
kawasan Asia bahkan dunia.
Serangkaian
peristiwa banjir yang melanda Asia Tenggara dan Selatan serta Australia pada
2007, misalnya, diyakini tak terlepas dari kejadian banjir besar Jakarta pada
tahun yang sama, sebagai dampak posisi Indonesia selaku pusat sirkulasi monsun
Asia. Kondisi ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai kawasan kunci untuk
mengerti masalah iklim di tingkat global: pengetahuan yang menyeluruh tentang
kondisi iklim Indonesia dinilai akan sangat membantu menekan dampak negatif
global warming.
Sebagai
pengendali iklim global, beban Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seharusnya
lebih besar ketimbang negara lain. Karenanya, bagi Indonesia, inovasi untuk menghasilkan
produk-produk emisi rendah (low-emission) merupakan imperatif yang mendesak.
Situasi
ini sebetulnya juga merupakan peluang bagi Indonesia untuk merintis kerjasama
saling menguntungkan (win-win cooperation) dengan komunitas internasional.
Dalam kerjasama ini Indonesia dapat berperan sebagai penyedia laboratorium alam
bagi riset-riset iklim dan teknologi bersih,
sementara negara-negara maju selaku penyedia investasi riset dan sumber daya
saintis. Melalui kerjasama ini, diharapkan terjadi transfer knowledge dan
teknologi bersih.
4.
Keunggulan Budaya
Budaya
hidup hijau (green life style), sebagai nilai fundamental ekonomi hijau, telah memiliki
akarnya dalam budaya tradisional Indonesia. Kita misalnya tak sulit menemukan kearifan
lokal (local wisdom) di banyak masyarakat rural yang menjunjung tinggi keseimbangan
ekologis atau harmonisasi alam ketimbang hasrat memburu ‘’kemajuan yang
berlebih-lebihan’’ yang justru destruktif, dimana hal ini amat berkorelasi
dengan prinsip triple bottom line dalam ekonomi hijau.
Jauh
sebelum inovasi pupuk hayati (biofertilizer) digalakkan sebagai respons
ambruknya kesuburan jutaan hektare tanah di Indonesia akibat penggunaan pupuk
kimia, warga Desa Gunung Malang, Kabupaten Bogor, telah mengkritik panen tiga
kali dari semula dua kali setahun yang dipaksakan pemerintah Orde Baru melalui
program Revolusi Hijau. Warga desa menilai hal ini sebagai ‘’pemerkosaan’’
terhadap tanah. Di Desa Maria, Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, budaya hidup
hemat, yang berkorelasi dengan prinsip efisiensi dalam green economy, juga
telah terlembagakan dalam praktik hidup masyarakat komunal di sana melalui
tradisi ampa fare. Ini merupakan ritual menyimpan padi di lumbung warga yang
terletak di atas bukit, yang selain ditujukan guna menyiasati musim kemarau,
juga untuk mendidik penduduk agar makan secukupnya, terhindar dari sikap
konsumtif. Hngga kini praktik hemat semacam menjemur pakaian (ketimbang
memanfaatkan mesin pengering yang boros listrik) atau mandi dengan gayung (ketimbang
berendam di bath-up yang menghabiskan air) masih merupakan kelaziman. Lain kata,
penduduk negeri ini memiliki keunggulan budaya sebagai prekondisi untuk
bertransisi menuju era ekonomi hijau.
F. Proses
Kewirausahaan secara sustainability
Untuk
memahami wirausaha dari aspek : pemikiran (Mindset), tindakan (Action) dan
proses (Process). Seorang wirausaha memiliki mindset, action dan process
tersendiri.
Dari
aspek “Mindset” seorang wirausaha adalah seseorang yang pemikirannya ditujukan
untuk mengidentifikasi peluang yang dapat diajadikan suatu usaha yang dapat
menghasilkan laba untuk jangka waktu panjang. Peluang-peluang yang dipilih
adalah peluang-peluang yang paling memungkinkan menghasilkan keunggulan
kompetitif. Pemikirannya diisi dengan gagasan-gagasan yang bersifat inovatif
serta keinginan untuk menghasilkan yang paling baik sehingga menciptakan
manfaat kepada pembeli/customer dan juga untuk masyarakat, terutama kepada para
pemegang kepentingan / Stake Holders. Lebih tinggi nilai/manfaat yang
dihasilkan lebih tinggi pula imbalan finansial yang diharapkan.
Menurut
Zimerer (1996) untuk mengembangkan keterampilan berfikir seseorang menggunakan
otak sebelah kiri sedangkan untuk belajar mengembangkan keterampilan kreatif
digunakan otak sebelah kanan. Zimerer mengemukakan beberapa kidah atau
kebiasaan , kewirausahaan antara lain : Create, innovate, and activate
(ciptakan, temukan, dan aktifkan)
Dari
aspek tindakan/action : seorang wirausaha mengutamakan tindakan “Getting Things
Done”. Setelah gagasan/peluang yang dianggap paling baik diidentifikasi,
seorang wirausaha akan segera menyusun perangkan organisasi, memobilisasi
input-input dan sumber-sumber yang diperlukan untuk mewujudkan usahanya.
Tindakannya dibimbing mindset atau naluri kewirausahaan, mengacu kepada
effectiveness, baru kemudian efisiensi.
Pengertian
kewirausahaan mengandung makna sebagai proses yang bersifat dinamis dan
berkelanjutan, merupakan proses kehidupan. Proses tersebut menyangkut :
•
Pendirian perusahaan yang dimulai dari tahap inkubasi, start-up, pengembangan, pertumbuhan dan ekspansi.
•
Proses pengembangan gagasan yang
berkelanjutan.
•
Proses peningkatan effectiveness dan
efficiency, terutama pemberdayaan sumber daya manusia.
Dan
Aktivitas Rantai Nilai Inovasi yaitu mencakup
tiga aktivitas utama, penggalian ide dan konsep (idea generation), pengembangan untuk mengubah ide dan konsep
menjadi produk (idea conversion), dan
penyebaran ide, produk dipasar (idea diffusion ; spread of the idea). Setiap aktivitas rantai nilai inovasi harus
menciptakan nilai tambah. Dan keseimbangan kekuatan harus ada pada tiga
aktivitas tersebut.
F.1 Penggalian Ide
Kegiatan
rantai nilai inovasi yang pertama adalah penggalian ide. Pimpinan dan manajer dalam organisasi innovator perlu
mengajukan tiga pertanyaan berikut mendiagnosis kondisi rantai nilai
inovasi dalam organisasi,
(1) Apakah orang-orang dalam unit kerja Anda
menciptakan ide-ide bagus
(2) Apakah anda memperoleh ide-ide bagus dari
luar perusahaan ?
Tiga
indikator berikut ini menentukan tingkat keberhasilan perusahaan dalam rantai
aktivitas penggalian ide tersebut
(1) Jumlah ide berkualitas yang dihasilkan
dari satu unit dalam organisasi
(2) Jumlah ide berkualitas yang dihasilkan
secara lintas unit dalam organisasi
(3) Jumlah ide berkualitas yang dihasilkan atau
yang berasal dari unit organisasi
F.2 Pengembangan Ide
Rantai
kegiatan kedua adalah mengkonversi ide atau mengembangkan ide atau konsep menjadi
produk (barang dan/atau jasa) yang bernilai tambah tinggi.
(1) Apakah perusahaan anda termasuk
perusahaan yang unggul dalam mengkonversi ide, unggul dalam mengembangkan ide
yang ada menjadi produk, sistem atau proses produksi yang memberi nilai tambah
bagi organisasi?
(2) Apakah anda mampu dan dapat menyeleksi dan
mendanai pengembangan ide-ide bagus ?
(3) Apakah anda mampu dapat mengubah ide-ide
bagus tersebut menjadi produk, bisnis dan praktik-praktik yang unggul dan menguntungkan ?
F.3 Penyebaran Ide
Rantai aktivitas ketiga adalah mendifusikan dan
mengkomersialisasikan hasil rantai aktivitas kedua. Apakah perusahaan anda
unggul dalam mendifusikan ide yang telah dikembangkan didalam perusahaan ?
Apakah perusahaan anda hanya unggul dalam mengembangkan ide tetapi tidak dalam
mendifusikan ide ; ide unggul dan konversi ide berhasil menjadi produk bagus
namun penyebarannya gagal dipasar ? Apakah produk unggul dari perusahaan anda
sudah menyebar namun tidak atau belum dilirik konsumen ?
Ada
dua indikator yang perlu diperhatikan untuk memeriksa keberhasilan perusahaan
pada kativitas rantai nilai ketiga ini ;
(1) Persentase penetrasi yang perusahaan
inginkan dipasar yang ditargetkan
(2) Waktu yang dibutuhkan hingga penyebaran
produk merata dipasar distributor, dan konsumen yang ditargetkan.
Tools
for Creating New Ideas consist of
Attribute Listing, Brainstorming, and Visioning, Alat untuk Menciptakan Ide
Baru terdiri dari Atribut mendengarkan, Brainstorming, dan Visioning.
G. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan
merupakan cara berpikir/mindset, tindakan dan proses, yang mengarah kepada
pengidentifikasian peluang, mengorganisir dan mewujudkan peluang menjadi usaha
yang mempunyai keunggulan kompetitif melalui suatu proses yang berkelanjutan
dan dinamis, yang diawali dari penggalian ide dan konsep (idea
generation), pengembangan untuk mengubah
ide dan konsep menjadi produk (idea conversion), dan penyebaran ide, produk dipasar (idea
diffusion ; spread of the idea).
Dan aktivitas rantai nilai
inovasi harus menciptakan nilai tambah.
Daftar Pustaka
1.
M,
Havidz Aima, Prof, Dr. MS, Entrepreneurship and Inovation Management
2. Barbara
Vis, Politics of Risk-taking: Welfare State Reform in Advanced Democracies,
Amsterdam University Press, Amsterdam, 2010, hlm.100.
3. David
Stott dan Alexandra Felix, Principles of Administrative Law, Cavendish
Publishing Limited, London, 1997, hlm. 28.
4. Gosta
Esping dan Andersen, “A Welfare State for the 21st Century Ageing Societies,
Knowledge Based Economies, and the Sustainability of European Welfare States”,
tanpa tahun, http://www.nnn.se/seminar/pdf/report.pdf, [22/08/2015], hlm. 30.
5. Torben
Iversen, Capitalism, Democracy, and Welfare, Cambridge University Press, New
York, 2005, hlm.
6. Lampiran
UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025, hlm. 36. Idem, hlm. 39-40.
7. Lukita
Dinarsyah Tuwo (WakilMenteri PPN/Wakil Kepala Bappenas), “Rancangan Teknokratik
RPJMN 2015-2019”, Makalah, disampaikan dalam acara Penjaringan Aspirasi
Masyarakat sebagai Masukan Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019 di Pontianak pada
20 Februari 2014, hlm. 5
8.
https://id.wikipedia.org/wiki/Program_Benteng
9.
Yahya
A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980,
Jakarta: LP3ES, 1991, hlm. 34.
10.
Thomas
W. Zimmerer (dalam Suryana 2001:2) Kewirausahaan. Salemba Empat: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar